JANGAN PERNAH MELUPAKAN SEJARAHMU

JANGAN PERNAH MELUPAKAN SEJARAHMU
Suasana MK 2011

Maret 25, 2012

REORGANISASI MILITER BELANDA-PRANCIS DI HINDIA TIMUR PADA AWAL ABAD XIX

Tambahan Pengetahuan
Materi Seminar By:
Djoko Marihandono  Universitas Indonesia

  1. 1.                  Pendahuluan
Dalam sejarah nasional Indonesia, masa awal abad XIX merupakan masa yang amat penting. Pada masa ini, wilayah koloni Hindia Timur berada di bawah kekuasaan 3 negara adidaya Eropa, yakni Republik Bataf (1795—1806), Kekaisaran Prancis (1806—1811), dan pemerintahan Inggris (1811—1816). Masa ini merupakan masa yang sangat penting bagi wilayah koloni Hindia Timur, karena tidak pernah terulang pada periode-periode berikutnya.
            Situasi politik dan ekonomi di Hindia Timur (istilah untuk menyebut Hindia Belanda saat itu),  pada akhir abad XIII hingga awal abad XIX sangat sulit. Hal ini terjadi sebagai akibat dari
perseteruan antara Inggris dan Prancis di Eropa. Perseteruan kedua negara adidaya itu berdampak di Hindia Timur yang berupa blokade laut yang dilakukan oleh Inggris atas pulau Jawa. Dengan terjadinya blokade itu, pemerintahan di Belanda berupaya untuk memperkuat pulau Jawa dengan cara melakukan organisasi militer di wilayah koloni ini. Topik inilah yang akan dibahas dalam makalah ini. Tulisan ini akan diawali pada tahun 1795, tatkala di Belanda didirikan Republik Bataf. Republik Bataf merupakan negara satelit yang didukung sepenuhnya oleh pemerintah Prancis. Tahun 1811 merupakan akhir dari pembahasan dalam makalah ini, karena sejak 18 September 1811, wilayah koloni Hindia Timur secara resmi menjadi milik Inggris sebagai konsekuensi ditandatanganinya Kapitulasi Tuntang.
            Menjelang akhir abad XVIII, terjadi peristiwa besar di Belanda. Pasukan Patriot yang dibantu oleh Prancis berhasil mendesak  Stadhouder Willem V dari Dinasti Oranye yang saat itu dibantu oleh pasukan Wurtemberg. Pada 17 Januari 1789 pagi, Willem V berangkat melalui Scheveningen menuju Texel yang selanjutnya mengungsi ke Inggris. Kaum Patriot yang dibantu oleh pasukan Prancis di bawah pimpinan Jenderal Pichegru berhasil menguasai kota-kota penting Belanda dan memproklamirkan pembentukan negara baru yang diberi nama Republik Bataf (Bataavsche Republiek) pada 19 Januari 1795. Beberapa saat kemudian Komite Revolusioner Bataf mengumumkan diberlakukannya konstitusi baru Republik Bataf  pada 4 Maret 1795.  Dalam konstitusi ini disebutkan bahwa bentuk pemerintahan Belanda adalah Republik kesatuan. Dalam konstitusi itu juga disebutkan bahwa pemerintahan dipegang oleh sebuah dewan yang anggotanya diangkat oleh Komite Revolusioner Bataf.  Dewan ini dipimpin oleh mantan pengacara Amsterdam yang bernama Jan Rutgers Schimmelpenninck dengan jabatan Raadpensionaris.
            Sebagai akibat dari ekspansionisme Napoléon Bonaparte di Eropa, posisi Belanda menjadi sangat penting. Belanda merupakan satu-satunya akses bagi Inggris untuk mendaratkan pasukannya ke Eropa. Oleh karena itu,  Kaisar Napoléon Bonaparte melihat betapa pentingnya posisi Belanda bagi Prancis. Setelah beberapa kali wilayah Belanda digempur oleh armada Inggris, pada 5 Juni 1806, Kaisar Napoléon Bonaparte memanggil anggota parlemen Republik Bataf ke istana Tuillerie di Paris.  Dari hasil pertemuan itu, Kaisar Napoléon Bonaparte memutuskan untuk mengubah sistem pemerintahan di Belanda dari bentuk Republik menjadi kerajaan. Perubahan sistem pemerintahan ini bertujuan untuk memudahkan koordinasi dalam bidang militer, politik dan administrasi pemerintahan, khususnya dalam upaya menghadapi Inggris. Secara terus terang Napoléon Bonaparte mengatakan bahwa tidak ada seorang pun mampu untuk memimpin Belanda saat itu.[3] Ia akan menyerahkan kekuasaan wilayah Belanda kepada orang Prancis, yang sudah teruji kesetiaan dan kemampuannya. Pilihannya adalah Louis Napoléon Bonaparte, yang tidak lain adalah adik kandungnya sendiri.  Louis saat itu masih aktif dalam dinas ketentaraan Prancis Grande Armée yang berpangkat juga Jenderal. Pada tanggal itu juga Louis dilantik menjadi Raja Belanda. Satu minggu kemudian, tepatnya tanggal 23 Juni 1806 Raja Louis dan permaisurinya Hortense tiba di Den Haag dan memulai pemerintahannya.
            Namun, harapan Napoléon Bonaparte terhadap Louis tidak seperti yang diharapkannya. Tatkala Napoléon berhasil menguasai wilayah Spanyol, ia dan pasukannya tidak mampu menaklukan pasukan gerilya Spanyol. Untuk menumpasnya, Kaisar  mengerahkan pasukan yang besar. Untuk keperluan itu, ia memerintahkan kepada raja Belanda Louis untuk mengirimkan tiga ribu serdadu Belanda. Ketika permintaan ini dipenuhi oleh Louis, kekuatan Belanda yang berjumlah 9 ribu pasukan menjadi berkurang. Hal ini diketahui oleh Inggris yang diikuti dengan pendaratan pasukannya di Belanda Utara. Pada bulan Juli 1809 pasukan Inggris yang berkekuatan sebanyak 40 ribu yang diangkut dengan armada sebanyak 264 kapal perang mendarat di pantai barat Belanda. Mereka menduduki Zeeland, pulau Walcheren. Setelah terjadi pertempuran sengit selama 17 hari, Inggris berhasil menguasai Vlissingen pada 15 Agustus 1809. Kekalahan ini dilaporkan kepada Kaisar Napoléon. Namun, ia justru menuduh Louis telah berbuat lalai dan menduganya sebagai “mata-mata Inggris”. Sejak itu terjadilah konflik antara Napoléon dan Louis. Perselisihan ini semakin meruncing dan mengarah pada gagasan  Napoléon untuk menganeksasi wilayah Belanda dan menyatukannya ke dalam wilayah Perancis. Louis yang mendengar rencana tersebut mengajukan keberatan. Alasan Louis adalah bahwa Belanda tetap memiliki hak sebagai negara merdeka, bukan sebagai negara boneka Perancis. Di sisi lain Napoléon menduga bahwa menurut lokasi geografinya, Belanda merupakan pintu gerbang menuju Perancis bahkan ke daratan Eropa. Berdasarkan pertimbangan tersebut, bagi Napoléon lebih tepat apabila Belanda langsung dikendalikan dari Paris untuk memudahkan koordinasi dalam strategi pertahanan militernya. Ketika Napoléon tidak melihat jalan keluar lain untuk mengatasi hal ini, pada tanggal 9 Juli 1810 dia memerintahkan pasukan Perancis memasuki Amsterdam dan mendudukinya.[4] Keesokan harinya Napoléon mengumumkan bahwa sejak tanggal 10 Juli 1810 Belanda menjadi bagian dari Perancis.[5] Dengan pengumuman itu, Louis tidak lagi menjabat sebagai raja Belanda lagi setelah sistem pemerintahan kerajaan Belanda dihapuskan.
Berita tentang penghapusan kerajaan Belanda ini diterima secara resmi oleh Gubernur Jenderal Daendels di Batavia pada bulan Februari 1811 melalui surat yang dikirimkan oleh Menteri Angkatan Laut dan Koloni kepadanya. Sebenarnya, Daendels telah menerima berita aneksasi Belanda ini melalui pelaut-pelaut Amerika dan dari koran yang ia baca. Dengan demikian, ia semakin yakin bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama, Inggris pasti akan menyerang pulau Jawa. Untuk menghadapi ancaman Inggris itu, ia menyusun strategi pertahanan dalam upaya mempertahankan Pulau Jawa.
  1. 2.      Kondisi Hindia Timur antara akhir abad XVIII dan awal abad XIX
Ketika negara induk mengalami pergolakan yang berakhir dengan pergantian pemerintahan (dari stadhouder menuju ke Republik), kondisi wilayah koloni di Tanjung Harapan dan Hindia Timur mengalami situasi yang amat buruk. Kekuatan armada VOC menjelang akhir abad XVIII tidak dapat diharapkan lagi untuk mempertahankan wilayah-wilayah koloni. Kondisi ini menyebabkan VOC tidak mampu lagi bersaing dengan armada negara Eropa lainnya. Kapal-kapal maupun persenjataan VOC kebanyakan sudah berusia lebih dari satu abad dan tidak pernah diperbaharui sebagai akibat dari ketiadaannya anggaran untuk memperbaharuinya.  Kondisi wilayah koloni ini sangat tergantung kepada negara induk.
            Menjelang akhir abad XVIII, VOC harus bersaing ketat dengan perusahaan asing lainnya di Asia, yaitu East Indie Company (EIC), kongsi dagang Inggris yang berpusat di Calcutta, dan Compagnie des Indes, kongsi dagang Prancis yang berpusat di Madras.[6] Dengan demikian, persaingan dagang di perairan Asia dan Afrika meningkat dengan tajam. Persaingan ini tidak hanya menyangkut bidang ekonomi, tenaga kerja, harga komoditi, tarip angkutan dan bea cukai, tetapi mengarah kepada ancaman akan monopoli masing-masing kongsi dagang tersebut. Dengan demikian, upaya melakukan monopoli sudah tidak dapat lagi dipertahankan bahkan menjadikan suasana tegang di wilayah koloni. Sering terjadi konflik terbuka di wilayah-wilayah ini.  VOC tidak dapat menghindarkan diri  dari situasi ini. Ancaman utama justru datang dari para pedagang EIC.  Pedagang EIC ini mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah Inggris di London yang menjadikan perusahaan dagang tersebut sebagai ujung tombak penguasaan wilayah koloni baru di kawasan timur Tanjung Harapan, termasuk wilayah koloni Hindia Timur.  Dengan pusatnya di Calcutta, EIC memperluas pengaruhnya di daerah sekitarnya, terutama wilayah yang telah dikuasai oleh Prancis. Sementara itu EIC juga berhasil memperluas wilayahnya hingga daerah Benggala dengan berakhirnya kekuasaan dinasti Mongol tahun 1744.[7] Dengan dibantu oleh angkatan laut Inggris (British Navy Admiralty),  armada laut EIC menjadi kekuatan yang tidak tertandingi di lautan Afrika maupun Asia. Kehadiran armada ini menjadi ancaman utama bagi jaringan perdagangan VOC yang terbentang dari Samudra Hindia sampai Asia Timur.[8]
            Seiring dengan naiknya kekuatan tempur armada Inggris di Afrika dan Asia, kekuatan tempur VOC mengalami kemerosotan yang sangat tajam, sehingga tidak mampu mempertahankan kekuatannya seperti pada periode abad XVII. Proses penaklukan yang dilakukan oleh VOC tidak mendapatkan dukungan finansial dari para pemilik saham.  Mengingat keinginan menambah kekuatan di Hindia Timur sudah tidak memungkinkan lagi dilakukan, perekrutan tentara dilakukan dengan menambah tentara yang berasal dari tenaga pribumi lokal atau dari wilayah pulau-pulau di sekitarnya.  Perekrutan tenaga lokal ini jauh lebih murah beayanya. Sebagian tenaga-tenaga lokal ini juga diperoleh dari bantuan para raja lokal, yang disebut sebagai hulptropen.
            Namun demikian, kekuatan VOC tidak dapat diharapkan lagi ketika menghadapi ancaman pasukan Inggris yang telah beberapa kali menganggu penduduk di pantai. Hal ini tidak dapat dicegah karena keterbatasan kapal yang dimiliki VOC, yang kebanyakan sudah satu abad dan tidak dirawat, anak buah kapal yang tidak terampil, persenjataan yang sudah kuno dan berkarat.  Hal inilah yang menyebabkan kekalahan Belanda dalam Perang Laut Tujuh Tahun  (1756—1763), armada VOC di Samudra Hindia dihancurkan oleh armada EIC. Peperangan ini sebenarnya bertujuan mengalahkan kekuatan maritim Prancis dan merebut monopoli maritim VOC, maka Inggris tidak meneruskan penyerangannya ke Hindia Timur. Dengan peristiwa ini, kapal-kapal Inggris bebas berlayar di semua perairan Hindia Timur, yang sekaligus mengakhiri dominasi laut VOC di wilayah koloninya.
            Dalam sejarah VOC di Hindia Timur, pernah terjadi kudeta yang dilakukan oleh Ketua Dewan Hindia (Raad van Indie) Gustaaf Willem Baron van Imhoff terhadap Gubernur Jenderal Valckenier. Van Imhoff menuduh Gubernur Jenderal Valckenier sebagai satu-satunya orang yang bertanggung jawab terhadap peristiwa pemberontakan Cina di Batavia yang menyebabkan terbakarnya kota Batavia.  Akhirnya Valckenier dipecat oleh Heeren XVII atas izin raja  Belanda Willem II yang saat itu menjadi stadhouder, kemudian melantik Baron van Imhoff sebagai gubernur jenderal. Pada masa pemerintahannya, ia melanjutkan rencana Valckenier untuk membentuk satuan wilayah baru di Jawa, yaitu pemerintahan Pantai Timur Laut Jawa (gouvernement van Noordoostkust Java) dan Ujung Timur Jawa (Oosthoek van Java).[9] Pembentukan wilayah adminitrasi atas pulau Jawa adalah agar dapat dibentuk wilayah yang semakin baik, dan dapat dengan mudah dikontrol oleh pemerintah di Batavia. Kedua wilayah ini dipimpin oleh seorang gubernur.  Namun, wilayah ini menimbulkan persoalan baru karena utusan dari Republik Bataf (Nederburgh) tidak berhasil menyingkirkan para koruptor di wilayah ini. Membaca laporan tersebut Jan Rutger Schimmelpenninck merasa perlu untuk melakukan reorganisasi di wilayah ini. Menjelang tahun 1800, ia membentuk Dewan Koloni Asia yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur Pemerintahan.[10] Namun, Dewan Koloni Asia tidak dapat berbuat banyak karena tidak tersedianya fasilitas dan terjadinya blokade laut di perairan Asia, tidak memungkinkan baginya untuk melakukan komunikasi dengan wilayah koloni. Nederburg akhirnya kembali ke Belanda dan menuliskan  kondisi wilayah koloni yang sangat memprihatinkan. Schimmelpenninck memberikan reaksi positif atas laporan itu dengan menyediakan dana sebesar 2,6 juta Gulden. Dana ini digunakan untuk membentuk sukarelawan yang bersedia menjadi tentara di Hindia Timur. Jumlah orang yang telah direkrut sebanyak 800 orang pada tahun 1806. Mereka dilatih secara singkat dan segera diberangkatkan ke Hindia Timur diangkut dengan menggunakan kapal dagang Wils & Co menuju Asia. Namun, ketika kapal melewati pelabuhan Den Helder, pemerintah Prancis melarangnya untuk melanjutkan perjalanan ke Asia dengan alasan pasukan itu diperlukan untuk memperkuat wilayah Belanda Utara  sebagai tentara cadangan dalam melawan gempuran Inggris di Belanda Utara.[11]
Schimmelpenninck akhirnya mengrimkan surat kepada Sieberg tentang penundaan pengiriman pasukan. Surat ini tidak pernah diterima oleh Sieberg karena jabatan Gubernur Jenderal telah diserahkan kepada penggantinya Albertus Henricus Wiese. Surat keputusan pengangkatan Wiese tiba di Batavia tanggal 29 Juni 1806, yang mengangkat Wiese sebagai Gubenur Jenderal yang berpangkat letnan Jenderal militer Kerajaan Belanda.
  1. 3.             Reorganisasi Militer di Hindia Timur
Dalam upaya menghadapi ancaman serangan Inggris, pemerintah Batavia melakukan reorganisasi militer, yaitu reorganisasi angkatan laut dan reorganisasi angkatan darat. Reorganisasi angkatan laut dilakukan dengan mengirimkan beberapa kapal secara bertahap ke Hindia Timur, sementara reorganisasi angkatan darat baru dilakukan setelah Daendels tiba dan berkuasa.
3.1     Reorganisasi Armada Laut
Rezim Napoléon memprioritaskan faktor keamanan dan pertahanan di semua wilayah yang dikuasainya. Oleh karena itu, wilayah-wilayah strategis harus diperhatikan dan diperahankan seperti Tanjung Harapan, Mauritius di Isle de France, dan Ceylon. Ketika VOC berkuasa, wilayah-wilayah itu dihubungkan dengan armada dagangnya yang dipersenjatai.[12]  Sementara itu Prancis menekankan pada aspek militernya dalam menghadapi blokade laut Inggris.
            Setelah tanggal 1 Januari 1800, Gubernur Jenderal saat itu, Van Overstraten, mengubah status semua pejabat tinggi dan pejabat Belanda dari pegawai VOC menjadi pegawai negara.  Beberapa wilayah di Hindia Timur pada pergantian abad sudah dikuasai oleh Inggris kecuali Jawa, Ternate, Manado, Makassar dan sekitarnya, bagian selatan pulau Timor,  Palembang dan kantor Banjarmasin yang masih dikuasai oleh Belanda.[13]
            Setelah perubahan status itu, pada 23 Agustus 1800 dilaporkan bahwa lima armada Inggris menguasai Teluk Batavia setelah menguasi pulau Onrust dan Kuiper dengan menghancurkan semua kapal yang berlabuh di sana. Kapten Ball mengirimkan perwira angkatan laut menemui gubernur jenderal untuk menyampaikan perintah atasannya, Laksamana Muda P. Reinier, agar bersedia untuk menyerah. Gubernur Jenderal Van Overstraten menolaknya, sehingga armada Inggris melakukan blokade laut atas pulau Jawa sambil menunggu armada Inggris lainnya. Upaya menyerang Batavia terjadi lagi pada bulan Oktober 1800. Inggris berhasil mendaratkan pasukannya di muara Marunda. Namun, pada tanggal 9 November 1800, armada Inggris harus meninggalkan Marunda setelah mendapatkan perlawanan dari pasukan Belanda di bawah pimpinan Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolas Engelhard.
            Untuk sementara waktu tidak ada lagi penyerangan dari pihak armada Inggris, karena di Eropa telah terjadi kesepakatan damai antara Inggris dan Prancis yang ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1802 di kota Amiens. Laksamana Dekker yang habis kontrak kerjanya pada awal tahun 1804, harus segera meninggalkan Jawa sebelum tanggal 15 Oktober 1803. Namun, keberangkatan Dekker dicegah oleh  Gubernur Jenderal karena berdasarkan berita dari koran Amerika yang diterima di Batavia, Inggris telah mengumumkan perang kembali dengan Prancis dan Republik Bataf.  Atas dasar inilah Dekker diminta untuk tetap berada di Batavia. Dekker menolaknya, dan berniat kembali ke Eropa. Setibanya di Ile de France pada tanggal 3 Nopember 1803, ia bergabung dengan Laksamana Mist dan Laksamana Jan Willem Janssens. Dekker diminta untuk kembali ke Batavia, sementara De Mist dan Janssens melanjutkan perjalanannya menuju Tanjung Harapan dengan dikawal oleh tiga kapal perang yang bersenjata lengkap. Namun, Dekker menolaknya, karena di Jawa, dia akan menjadi anak buah Laksamana Hartsinck yang pangkatnya lebih rendah dari dirinya.[14]
            Laksamana Muda Hartsinck tiba di Jawa dengan menggunakan kapal kompeni lama dan dikawal oleh dua kapal yang dikirimkan dari Tanjung Harapan oleh Laksamana de Mist. Dengan demikian, jumlah kapal yang berada di Hindia Timur sebanyak 13 kapal. Pada tanggal 12 Desember 1803, datanglah Laksamana Linois di pelabuhan Batavia dengan membawa 200 orang tentara Prancis. Bersama dengan pasukan ini ikut serta Jenderal de Gosson beserta staf perwira tinggi yang berjumlah 40 orang.  Ia menyatakan bahwa dirinya diberi tugas oleh Premier Consul (baca: Napoléon Bonaparte) untuk memimpin pasukan Prancis di Jawa di Hindia Timur. Namun, pemerintah di Batavia menolaknya karena ia tidak dapat menunjukkan surat tugasnya.  Batavia menerima 200 bantuan tentara Prancis, sementara Jenderal de Gosson dan stafnya dikirimkan kembali ke Isle de France di kepulauan Mauritius. Ketika Gubernur Jenderal Sieberg dan anggota Dewan Hindia meminta tambahan pasukan, Laksamana Lonois menolaknya.
            Blokade laut atas pulau Jawa yang dilakukan oleh armada Inggris terus dilakukan. Pada tanggal 18 Oktober 1806, sebuah kapal Inggris muncul di pelabuhan Batavia. Kapal ini kemudian merampok sebuah kapal layar dan sebuah fregat. Satu bulan kemudian, tanggal 26 November 1806, tujuh kapal Inggris yang dipimpin oleh Laksamana Sir Edward Pellew muncul di Laut Jawa. Pellew menerima instruksi, yang disampaikan melalui armada lainnya yang baru bergabung, untuk menghancurkan semua armada Belanda yang berada di sekitar laut Jawa. Ketika Pellew akan mendaratkan armadanya di Batavia, di pelabuhan Batavia terdapat 20 kapal dagang dan 8 kapal perang yang sedang berlabuh di pelabuhan itu.[15]  Akhirnya Pellew mengerahkan 18 buah armada perangnya untuk menghancurkan semua kapal yang berlabuh di pelabuhan Batavia. Pellew tiak melanjutkan misinya dengan pendaratan, tetapi terus melakukan patroli di laut Jawa.[16] Pada bulan April kembali armada Inggris merampas empat kapal dagang Belanda. Kondisi ini menyebabkan Laksamana Hartsinck mengundurkan diri. Namun, ia meninggal pada tanggal 8 Juli 1808 di Baltimore, Amerika Serikat dalam perjalanan  pulang ke Belanda. Patroli Armada Inggris juga berhasil mencegat kapal Perang Belanda Scorpio yang sedang mengawal kapal dagang dari Batavia ke Semarang. Pellew juga berhasil menangkap korvet Belanda yang dilengkapi dengan 20 meriam di pelabuhan Semarang.
            Pada bulan Desember 1807, delapan armada Pellew berada di pelabuhan Gresik, Surabaya.[17] Ia mengirim sebuah rakit yang ditumpangi oleh beberapa perwira untuk menyampaikan surat kepada komandan pelabuhan Gresik, Kapten Cowell. Isi surat itu antara lain bahwa Inggris tidak akan menyerang apabila pemerintah di Surabaya bersedia menyerahkan kapal-kapal itu. Namun, komandan keamanan di Surabaya justru menangkap mereka. Insiden ini menimbulkan kemarahan Pellew yang mendaratkan 1.400 orang marinirnya untuk menguasai Surabaya. Insiden dikuasainya kota Surabaya oleh tentara Inggris menimbulkan ketegangan bagi para penguasa Belanda di Surabaya. Setelah disepakatinya perdamaian antara penguasa Batavia dan Laksamana Pellew, Pellew menarik pasukannya dengan menyita semua armada laut Belanda.[18] Dengan demikian penguasa Ujung Timur pulau Jawa tidak lagi memiliki armada laut. Hal ini berarti habislah kekuatan laut pemerintahan Belanda di Hindia Timur.

3.2       Reorganisasi Angkatan Darat
Menjelang pembubaran VOC, kondisi angkatan darat Belanda di Hindia Timur sangat buruk. Pemerintah Belanda mengirimkan beberapa gelombang serdadu baru dari Eropa ke Batavia. Kondisi mereka sangat buruk karena mereka kurang terlatih, senjatanya tidak lengkap, dan gajinya sangat minim, banyak tentara yang sakit, desersi. Alasan mereka meninggalkan induk pasukannya karena merasa rindu dengan anak dan isterinya. Mereka dibayar dengan gaji yang rendah, yang mengakibatkan menurunnya semangat juang mereka. Pasukan di  Batavia dan Batavia ommelanden dipusatkan di Batavia. Sementara itu, pasukan di Jawa bagian timur dipusatkan di Surabaya. Adapun  Jumlah tentara seperti tercantum dalam tabel berikut.
Jumlah tentara di Hindia Timur menjelang dan sesudah bubarnya VOC
Tahun
Jumlah Tentara
Keterangan
1771
2.372

1793
434

1797
516

1802
2.020
Tentara yang berada dibawah pimpinan Jenderal de Gosson dikembalikan ke Isle de France.
1803
1.098
Penambahan tentara Eropa sebanyak 216 orang di bawah Letnan Kolonel Jauffret.
1804
1.132
Sebanyak 775 tentara diambil dari tentara di Isle de France yang dibawa oleh Laksamana De Mist.
1808
3.496 Eropa8.347 pribumi
Saat serah terima jabatan Gubernur Jenderal dari Wiesse kepada Daendels.
1811
2.430 Eropa1.506 Ambon13.838 pribumi
Laporan Brigadir GH v Gutzlaff, 11 Mei 1811.
Data diolah dari majalah Tijdschrift voor Indie terbitan tahun 1879 dari artikel “De Asiatische Bezittingenonder Koning Lodewijk,halaman 437.
Selama perang terjadi, tidak ada tentara Eropa yang menerima gaji secara tetap.  Namun demikian, menurut laporan komandan Brigadir Sandel Roy kepada pemerintah di Batavia, pada tahun 1802, jumlah anggota militer di garnizun Batavia, Jawa dan Makasar tidak lebih dari 2.020 orang Belanda, yang dua pertiganya harus dianggap tidak berguna. Meskipun ada penambahan tentara, pasukan darat Eropa di Hindia Timur masih lemah dan kondisinya semakin lama semakin lemah. Senjata api dilaporkan hampir seluruhnya rusak dan tidak dapat digunakan akibat terkena korosi. Meriam tembaga juga masih tersedia dalam jumlah besar, namun kalibernya sudah tidak cocok untuk digunakan sebagai meriam pantai karena daya jangkaunya yang rendah.[19]
            Setelah dilantik menjadi Gubernur Jenderal pada 14 Januari 1808, Daendels melakukan pemeriksaan terhadap pasukannya di Hindia Timur, dengan hasil sebagai berikut:
  1. Sisa Resimen Wurtemberg, yang dikirim dari Eropa pada tahun 1788, ditambah dengan pasukan yang berasal dari Tanjung Harapan yang dipimpin oleh Laksamana Sonrey, yang langsung kembali ke Belanda setelah mendaratkan pasukannya di Jawa;
  2. Serdadu dan kelasi armada yang ditinggalkan oleh Laksamana Hartsinck, disebut sebagai Resimen Zeeuw;
  3. Sisa serdadu yang pernah berdinas dalam dinas militer VOC;
  4. Kesatuan cadangan yang terdiri atas orang pribumi Jawa atau Madura sebagai kekuatan milisi.
Seluruh kesatuan ini dipimpin oleh Panglima Brigadir Jenderal Simon de Sandel Roy. Ia memimpin pasukan Eropa dan pribumi.  Sementara itu Batalyon infanteri XII Prancis di bawah komandan Letnan Kolonel Jauffret, yang terdiri atas 5 kompi dan 21 perwira. Setengah brigade infanteri nasional di bawah komando Kolonel Charles Etien Vangin yang terdiri atas 11 kompi dengan 68 perwira. Terdapat satu batalyon empat kompi berada di bawah komando Letnan Kolonel Carel Frederik Gaupp; Satu batalyon tiga  kompi berada di bawah komando Letnan Kolonel Nic. Dom Cher le Grevisse, satu batayon empat kompi berada di bawah komando Mayor Joseph de Lort. Batalyon Infanteri III Republik Bataf  berada di bawah komando Letnan Kolonel Abraham Mathieu yang terdiri atas 9 kompi dengan 33 perwira. Satu batalyon pemburu terdiri atas 2 kompi dengan 21 perwira berada di bawah komando Mayor Rene François Auguste le Motte Bertin. Korps kavaleri pengawal Gubernur Jenderal di bawah komando Letnan Kolonel George Heinrich von Gutzlaff terdiri atas 3 kompi dengan 16 perwira yang semuanya berjumlah 362 tentara. Satu korps artileri di bawah komando Kolonel Korps Louis Auguste d’Omarcey d’Omois yang merupakan pasukan zeni berjumlah 7 kompi dan 63 perwira yang sebagian besar sudah dibubarkan pada akhir tahun 1807. Korps pertahanan sipil berada di bawah komando Andries van Braam dengan 23 perwira yang bersama-sama dengan pasukan garnizun menempati pos di Weltevreden, Meester Cornelis, Tanjungpura, Tangerang, Buitenzorg, Kwal dan Angke.
            Sementara itu di beberapa wilayah juga terdapat beberapa kesatuan seperti di Semarang yang meliputi Bangkalan, Pasuruan dan Banyuwangi; Cirebon, dan Banten yang masing-masing memiliki satu korps infanteri dan artileri. Sementara itu, pasukan yang ditempatkan di dua pusat kerajaan Sunda (Cirebon dan Banten) dianggap sangat lemah.  Dari jumlah yang ada, diketahui tidak lebih dari 1/3 nya dianggap tidak layak untuk bertempur.
            Daendels melihat bahwa kualitas pasukan tidak memungkinkan untuk  menghadapi serbuan Inggris. Ia menyadari bahwa jumlah pasukan tidak memadai  dan tidak mencukupi. Langkah pertama yang ia lakukan adalah mengganti para panglimanya.  Tanpa menyingkirkan para komandannya, tidak mungkin reorganisasi militer dilakukan. Brigadir de Sansel de Roy  digantikan oleh Kepala Staf umum, Kolonel Alberti, yang kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi Brigadir Jenderal.
            Langkah kedua yang diambil oleh Daendels  adalah melakukan pembenahan pasukan.  Keputusan pertama yang berpengaruh pada bidang militer adalah keputusan tanggal 14 Januari 1808. Keputusan yang dianggap peraturan ini dibuat untuk membenahi wilayah Ujung Timur Jawa (Java oosthoek), khususnya komando yang harus diterapkan di sana. Komandan wilayah Ujung Timur diberi wewenang untuk memobilisasi pasukan dan mendapatkan dukungan dari pemerintahan sipil yang ada di sana apabila diperlukan;
            Keputusan tanggal 7 maret 1808 berisi tentang penetapan jumlah pasukan yang layak untuk mempertahankan pulau Jawa, yaitu sebanyak 19.316 tentara. Bagi Daendels, luar Jawa tidak begitu penting dan tidak perlu dipertahankan mengingat ketiadaan sarana dan prasaranya.  Hanya wilayah yang memiliki makna bagi militer saja yang dipertahankan seperti Ternate dan Palembang  yang harus dipertahankan.  Untuk memudahkan pengendalian atas pulau Jawa, ia membagi pertahanan pulau Jawa menjadi tiga  daerah masing-masing dengan kekuatan pasukan tempur masing-masing sebanyak satu batalyon. Daerah militer pertama adalah ibukota Batavia dan sekitarnya (Batavia Ommelanden), yang berada di bawah komando Brigadir Jenderal Guslaw von Lutzow. Wilayah kedua adalah wilayah Jawa Tengah di bawah komando Brigadir Jenderal von Winkelman dengan menampati markas di Semarang, yang sekaligus membawahi garnizun di vorstenlanden. Sementara itu wilayah ketiga, yakni wilayah Jawa Timur berada di bawah komando Brigadir Jenderal von Motman yang berkedudukan di Surabaya, yang membawahi Madura dan Ujung Timur pulau Jawa. Sebagai koordinator dari ketiga wilayah ini, Daendels menunjuk Brigadir Jenderal Hendrik Marcus de Kock yang menjabat sebagai Kepala Staf Umum.  Sementara itu kesatuan Wurtemberg yang terdiri atas orang Eropa bukan Belanda digabungkan dengan kesatuan tentara Hindia Timur (Nederlandsche Oost Indie Leger).[20]
            Langkah lainnya yang diambil oleh Daendels  adalah meningkatkan jumlah pasukan di Jawa. [21] Mengingat tidak memungkinkan untuk mendatangkan pasukan Eropa ke Jawa, ia merekrut orang pribumi untuk dijadikan pasukan Belanda di Hindia Timur. Seperti telah dilaporkan oleh Daendels kepada Kaisar Napoléon,  bahwa Daendels telah berhasil merekrut  sebanyak 13.838 tentara pribumi yang disebut sebagai Pasukan Jayengsekar. Pasukan ini ditempatkan di beberapa prefektur dan kabupaten yang berada di Jawa. Pembentukan pasukan pribumi ini bersamaan dengan dilakukannya reorganisasi pemerintahan di Pantai Timur Laut Jawa (Noord-Oostkust) dan Ujung Timur Jawa (Oosthoek). Berdasarkan reorganisasi itu telah ditetapkan jumlah tentara pribumi yang dibentuk di setiap prefektur, yang masing-masing berjumlah antara 50 dan 100 orang, tergantung dari luasnya wilayah.[22] Anggota pasukan ini dipilih dari penduduk yang baik, terdiri atas orang-orang yang pandai dan cerdas. Mereka akan dipimpin oleh perwiranya sendiri yang jumlahnya 3 orang untuk setiap prefektur atau daerah komando. Perwira ini memiliki pangkat setara bupati. Mereka ini dilengkapi dengan tanda-tanda kemiliteran secara khusus.
            Kekuatan pasukan di Hindia Timur masih memperoleh tambahan dari pasukan Mangkunegaran yang diberi nama Pasukan Prangwedono. Pasukan Prangwedono terdiri atas 1.100 tentara yang berada di bawah Adipati Mangkunegoro yang bermarkas di Surakarta. Pasukan ini dibentuk oleh Daendels menurut  model tentara Eropa, dibagi dalam satu batalyon infanteri yang terdiri atas empat kompi,  ditambah dengan 2 kompi pemburu, 2 pasukan artileri berkuda, dan 2 skuadron kavaleri. Pasukan Prangwedono ini langsung berada di bawah komando Gubernur Jenderal di Batavia.
            Tenaga pribumi ini semula didatangkan dari luar Jawa yang terdiri atas orang Ternate, Ambon, dan tenaga lain dari luar Jawa.  Setelah dilatih, mereka ditempatkan di masing-masing daerah sebagai pasukan pengamanan kota (garnizun). Reaksi terjadi dari masing-masing wilayah. Terjadi perlawanan di Tondano ketika ia merekrut 3.000 orang untuk dibawa ke Jawa. Dari raja-raja pribumi, Daendels kurang mendapatkan pasukan yang dapat diandalkan, karena mayoritas dari kerajaan di Jawa menentang kebijakannya. Selain itu, kesatuan pribumi lainnya yang ia rekrut adalah barisan Madura. Pasukan ini dipersembahkan oleh raja Madura dan Panembahan Sumenep. Jasa barisan Madura telah teruji tatkala Nicolas Engelhard menyelesaikan pemberontakan rakyat Cirebon dan mengusir armada Inggris yang telah mendarat di Marunda.
            Berdasarkan laporan staffnya dan berdasarkan anilisis yang dibuatnya, Daendels yakin bahwa Inggris dengan meriam jarak jauhnya memiliki kelemahan. Armada Inggris akan berjaya apabila dilakukan perang laut di pantai-pantai terbuka. Oleh karena itu, apabila Inggris menyerang Jawa, Daendels akan memaksanya untuk bertempur di laut yang sempit. Oleh karena itu, Daendels memusatkan pertahan di selat-selat sempit di sekitar pulau Jawa, antara lain selat Sunda, selat Madura, dan selat Bali. Daendels yakin bahwa Inggris tidak akan mencapai selat Bali karena jaraknya yang terlalu jauh. Oleh karena itu, konsentrasi Daendels ditujukan pada selat Sunda dan selat Madura. Oleh karena itu, apabila Inggris menyerang Jawa, peperangan harus diarahkan di selat-selat itu, dengan sistem peperangan jarak dekat, agar mudah dihancurkan dengan menggunakan meriam-meriam yang dimiliki oleh pemerintah Hindia Timur.
            Untuk menunjang sistem pertahanannya, Daendels membuat pabrik senjata yang tugasnya antara lain memperbaiki persenjataan pasukan dan memodifikasi meriam-meriam yang ada.  Meriam yang ada di Surabaya dan Batavia berasal dari meriam kapal yang tidak digunakan lagi. Selain memodifikasi meriam yang ada, ia juga menginstruksikan untuk membuat meriam yang jauh lebih besar kalibernya, dengan harapan dapat menjangkau jarak yang lebih jauh. Dengan kemampuan tembaknya yang besar, meriam ini akan mampu menghancurkan musuh  di barisan depan yang berguna bagi pasukan kavaleri dan infanteri untuk terus bergerak maju menghancurkan musuh.
            Dengan kekuatan artileri yang besar, Daendels mengharapkan dapat meningkatkan kekuatan tempurnya.  Untuk merealisasikan idenya, pada 13 Februari 1808 ia membentuk satu korps artileri yang terdiri atas 2.716 tentara di bawah komando kolonel von Gutzlaw. Kesatuan ini terdiri atas tiga batalyon dan enam kompi yang terdiri atas pasukan infanteri dan kavaleri. Mereka beranggotakan tidak hanya orang Belanda,  tetapi anggota pasukan Wurtemberg dan pasukan cadangan termasuk tenaga pengangkut meriam dan perlengkapannya. Selain itu disiapkan 176 ekor kuda yang mampu menarik meriam besar. Daendels juga memerintahkan untuk membangun bengkel artileri untuk memperbaiki meriam-meriam yang mengalami kerusakan ketika diselamatkan dari Isle de France dan Tanjung Harapan, agar dapat dimanfaatkan kembali. Tenaga teknisi terdiri dari tenaga-tenaga VOC yang pernah bekerja pada bengkel persenjataan di pulau Onrust. Industri artileri ini akhirnya ditetapkan didirikan di Surabaya. [23]Pertimbangan lain industri artileri didirikan di Surabaya, karena dekat dengan daerah produksi salpeter yang  merupakan bahan dasar pembuatan amunisi dan peluru. Ternyata pembangunan industri artileri di Surabaya belum dianggap cukup oleh Daendels.  Ia menetapkan untuk membangun pabrik pembuatan peluru di Semarang.  Pendirian pabrik peluru di Semarang dengan pertimbangan bahwa gudang mesiu dapat ditempatkan di benteng-benteng di pedalaman.[24] Kegiatan bongkar muat barang dapat dilakukan di pelabuhan sehingga dapat menjangkau hampir seluruh wilayah di pulau Jawa.  Produk yang dihasilkan dari pabrik di semarang ini, selain peluru, juga membuat granat dan peluru meriam.
            Untuk menampung hasil produksinya, Daendels memerintahkan untuk membangun gudang-gudang amunisi di Surabaya, Salatiga, Meester Cornelis. Surabaya dan Meester Cornelis digunakan untuk mendukung garis  besar pertahanan di Jawa. Salatiga dipilih dengan pertimbangan bahwa Salatiga relatif dekat dengan pertahanan di Jawa Tengah  dan dekat dengan benteng-benteng yang didirikan di Vorstenlanden.
            Di samping perlengkapan tempur, kebutuhan lain yang dianggap perlu untuk ditingkatkan oleh Daendels adalah peralatan dan hewan penarik senjata.  Peralatan transportasi seperti pedati, kotak-kotak pengangkut senjata, tandu, gerobag dibuat dengan memanfaatkan tukang-tukang pribumi. Material untuk keperluan itu dibuat dari kayu yang didatangkan dari wilayah Rembang, Blora, Tuban dan Lamongan. Sementara itu, untuk hewan, khususnya kuda, didatangkan dari Bali dan Sumbawa. Mengingat bahwa lalu lintas impor kuda ini untuk kepentingan militer, maka penyediannya dikontrol oleh dinas militer.
            Fasilitas komunikasi lainnya adalah membangun jalan dan menghubungkan jalan-jalan yang sudah lama ada. Di samping itu, diperlukan mekanisme yang mengatur pemeliharaan jalan dan jembatan.  Kepala Kantor pertahanan Semarang Schultze menulis surat kepada Daendels pada bulan Februari 1809 yang mengeluhkan kondisi sejumlah jembatan yang tidak dapat dilalui oleh kereta pengangkut personil dan peralatan. Daendels setelah memantau di lapangan memerintahkan Kolonel Gordon dari dinas Zeni untuk menghubungi para bupati setempat. Mereka diminta untuk mengerahkan tenaga kerja wajib sebagai pekerja kasar untuk melakukan perbaikan fasilitas tersebut.

  1. Penutup
Hindia Timur, khususnya Jawa, dianggap sangat penting bagi Prancis. Napoléon Bonaparte telah mengirimkan beberapa pasukannya yang tergabung dalam Divisi XII. Jawa dianggap penting bagi Prancis karena kekayaan hasil komoditi Ekspor, posisi geografisnya, dan potensi penduduknya. Hasil komoditi ekspor yang berupa kopi, gula dan padi, di samping kayu jati merupakan komoditi yang sangat laku di pasaran internasional. Instruksi yang diberikan oleh Napoléon Bonaparte kepada Gubernur Jenderal Daendels sesaat sebebelum meninggalkan istana Tuillerie adalah membenahi sistem administrasi pemerintahan di Hindia Timur agar memberikan manfaat kepada negara induk di Eropa.  Napoléon Bonaparte menganggap penting pulau Jawa karena posisi geografisnya. Napoléon akan menjadikan Jawa sebagai pangkalan utama Prancis dalam rangka rencana penyerangan Prancis ke India, yang dikatakan sebagai wilayah yang kekayaannya melebihi semua kekayaan semua negara di Eropa. Selain itu, penduduk Jawa memiliki kekuatan fisik yang tidak kalah kuatnya dengan tentara Sepoy dari India.
            Oleh karena itu, Napoléon Bonaparte mengingatkan agar pulau Jawa diperkuat. Kaisar menegaskan bahwa Batavia harus diperkuat, karena Inggris sewaktu-waktu akan menyerang Jawa. Ia mengingatkan bahwa kemungkinan besar Inggris akan mendaratkan pasukannya dari Cilincing yang jaraknya kira-kira 2 lieux (l lieu=4 km) dari pusat pemerintahan di Batavia. Pasukan yang dikirimkan ke Jawa melaporkannya  bahwa Batavia tidak memiliki pertahanan apa pun, sehingga apabila tidak diperkuat, Batavia akan segera jatuh apabila diserang oleh Inggris.
            Oleh karena itu, beberapa tentara dikirimkan ke Jawa melalui Isle de France dan Port Louis. Jumlah  tentara yang ideal yang seharusnya ditempatkan di Jawa menurut Napoléon Bonaparte berjumlah 20.000 orang. Oleh karena itu, pada saat Daendels dikirimkan ke Jawa untuk menduduki jabatannya sebagai gubernur jenderal, ia harus segera melakukan reorganisasi dan memobilisir  tentara yang berjumlah mendekati jumlah yang diinginkan oleh Kaisar. Untuk itu, pada bulan Mei 1811, Kepala Staf angkatan darat von Gutzlaff melaporkan  jumlah tentara yang berhasil dimobilisir oleh Daendels.
  1. 5.                  Daftar Pustaka
Anonim, 1879.  “De Asiatische Bezittingenonder Koning Lodewijk, dalam Tijdschrift voor Indie  1879.
Anonim. “Een kritiek over de Indische leger organisatie en het legerberker van Daendels” dalam Indische Militaire Tijdschrift, tahun 1878.
Bonaventura, M. 1905. De Bonapartes, Nijmegen, L.C.G. Malmberg.
Brugmans, H. 1815. Van Republiek tot Koninkrijk: Geschiedenis der Nederlanden 1795—1815.  Amsterdam: Scheltens @ Giltay.
Daendels, Herman Willem. 1814. Staats der Nederlndsche Oostindische Bezittingen onder het Bestuur van de Gouverneur-General Herman Willem Daendels, Ridder, Luitenant-Generaal in de Jaaren 1808—1811. ‘s Gravenhage.
Deventer, S.van.  1865. Rapport van Hopkins omtrent het Grondbezit in Besoeki, Panaroekan en Probolinggo.
Faber, Von. 1931. Oud Soerabaia, Uitgegeven door de gemeente Soerabaia ter gelegenheid van haar zilveren jubileum op 1 April 1931. Batavia.
Hageman, Jcz, J.  1860. ”Geschiedenis van het Bataafsche en Hollandsch Gouvernement op Java 1802—1810”, dalam TBG,  Vol. IV, Batavia: Lange&co. 
Hageman, J. 1855. ‘Geschiedenis van het Hollandsch Gouvernement op Java 1802—1810’, dalam Tijdschrift van Bataviaasche Genootschap voor Indische Taal, Laand en Volkenkunde. Jilid IV
Locher-Scholten, Elisabeth dan Peter  Rietbergen (Eds).2004. Fof en Handel: Aziatische Vorsten en de VOC 1620—1720. Leiden: KITLV Uitgeverij.
Marihandono, Djoko. 2005. Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan Herman Willem Daendels di Jawa 1808—1811: Penerapan Instruksi Napoléon Bonaparte.  Disertasi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.
Milza, Pierre, Serge Berstein dan JL Monneron. 1978. Histoire de la Révolution au Monde d’Aujourd’hui. Paris: Fernand Nathan.
Price,  JC Powel. 1955. A history of India. London: Thomas Nelson&Sons Ltd
Romier, Lucien. 1948. L’Ancienne France: des origines à la révolution. Paris: Librairie Hachette
Schama. Simon. 1989. Patrioten en Bevrijders: Revolutie in de Noordelijke Nederlanden, 1780—1813.  Amsterdam: Agon.
Stapel. FW. 1940. Geshiedenis van nederlandsche Indie. Jilid V. Amsterdam: Uitgevers-maatschapij.
Vries, Theun de. 1941. Jan Rutgers Schimmelpenninck.  Den Haag: HP. Leopold Uitgevrij.
Williamson, James A. 1962.  The British Empire and Commenwealth. London: McMillan.





[1] Makalah ini disajikan pada acara Konferensi Nasional Sejarah IX yang diselenggarakan pada 5-8 Juli 2011 di Jakarta.
[2] Penulis adalah pengajar sejarah pada Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
[3] Sebelum mengangkat Louis, Napoleon telah menawarkan kepada lima orang utusan Belanda tentang jabatan Stadhouder bagi Louis sebagai pengganti Schimmelpenninck. Namun utusan Belanda menolaknya dan dengan traktat baru, konstitusi dibuat yang merubah bentuk republik menjadi kerajaan. Berdasarkan traktat itu konstitusi baru dibuat yang mengesahkan kedudukan Louis sebagai raja. M. Bonaventura, De Bonapartes, Nijmegen, L.C.G. Malmberg, 1905, halaman 300
[4] Sebelumnya telah dilakukan kesepakatan antara Napoléon dan adiknya Louis di istana Rembouillet tanggal 16 Maret 1810, yang intinya pentingnya wilayah Belanda bagi Prancis  dan konsekuensi yang akan diterima oleh Louis  apabila membiarkan armada Inggris mendarat di Belanda.
[5] Sejak saat ini semua hukum Prancis diberlakukan di Belanda.  Wilayah Belanda langsung dibawah kekuasaan Napoléon Bonaparte. Sistem pemerintahan yang ada menggunakan sistem pemerintahan Prancis. (H. Brugmans, Van Republiek tot Koninkrijk: Geschiedenis der Nederlanden 1795—1815,  Amsterdam, Scheltens&Giltay, halaman 146).
[6] Lucien Romier, L’Ancienne France: des origines à la révolution(Paris, 1948, Librairie Hachette), halaman 279. Compagnie des Indes dibentuk oleh Raja Louis XV, yang memiliki mayoritas saham dan menjadi investor utama dalam pembentukan kongsi dagang ini.
[7] Lihat JC Powell Price,  A history of India (London, 1955, Thomas Nelson&Sons Ltd, halaman 400.
[8] James A. Williamson,  The British Empire and Commenwealth (London, 1962, McMillan, halaman 74).
[9]Wilayah Administrasi Pantai Timur Laut Jawa dibubarkan pada masa pemerintahan Daendels, berdasarkan instruksi Gubernur Jenderal  tanggal 17 Mei 1808. Gubenur Pantai Timur Laut Jawa saat itu dijabat oleh Nicolas Engelhard. Ia dicopot dari jabatannya oleh Daendels dan wilayahnya digabungkan dengan wilayah Batavia yang berada di bawah tanggung jawab gubernur jenderal (Stapel 1940:38-39). Penghapusan wilayah ini disetujui oleh Menteri Perdagangan dan Koloni Van der Heim yang menyatakan bahwa Nicolas Engelhard telah memperlambat tugas-tugas Gubernur Jenderal. Sementara berdasarkan alasan Gubernur Jenderal membubarkan wilayah administratif ini karena lahannya sangat luas,  bantuan keuangan diberikan ke wilayah ini sebesar 700.000 ringgit, tetapi uang yang disetorkan kembali kepada pemerintah sangat kecil, sehingga dianggap tidak efektif lagi.
[10] Baca Theun de Vries, Rutger Jan Schimmelpenninck (Amsterdam, 1941, Lepolod Uitgeverij), halaman 2.
[11] Baca J. Hageman, ibid, halaman 167.
[12] Lihat Elisabeth Locher-Scholten dan Peter  Rietbergen (Eds).Fof en Handel: Aziatische Vorsten en de VOC 1620—1720 (Leiden, 2004, KITLV Uitgeverij), halaman 8.
[13]Lihat Stapel (1940:15—16). 
[14]Dekker akhirnya melanjutkan perjalanannya kembali ke Belanda dengan menggunakan kapal swasta melalui Lisabon. Sesampainya di Belanda, ia ditangkap, kemudian diadili di Mahkamah Tinggi Militer dan dijatuhi hukuman mati. (Stapel:1940;22—23).
[15]Sebanyak delapan kapal yang berada di Batavia adalah armada Hartsinck. Bersama dengan hancurnya kapal-kapal ini juga dihancurkan beberapa kapal dagang lainnya. (Stappel, 1940:24).
[16]Akibat dari patroli laut yang dilakukan oleh armada Pellew, pulau Jawa telah dikepung oleh armada Inggris. Pelabuhan Batavia tidak terlindungi, karena tidak adanya kapal perang di pelabuhan itu. Sisa beberapa armada Hartsinck berada di pelabuhan Gresik, dan tidak memungkinkan  digerakkan ke Batavia untuk melindungi Pelabuhan Batavia (Stapel:1940:26). Kapal yang ada di Gresik yakni Pluto dan Revolutie. Di pelabuhan ini juga sedang bersandar kapal Koortenaar   dengan kekuatan 60 meriam, Bustaff  dengan kekuatan 40 meriam (Von Faber: Oud Soerabaia,  1931: 30).
[17]Laksamana Pellew muncul dengan 8 buah kapal, yakni Culloden, Powerfull, Fox, Corlyn, Semarang, Victor, Seaflower dan Diana. (Stapel, 1940:26-28).
[18]Ada lima kesepakatan antara penguasa militer Surabaya dan armada Laksamana Pellew, yakni: inggris akan meninggalkan Gresik dan Surabaya; kapal Belanda yang rusak harus segera dibakar; pembongkaran pertahanan pantai  di Madura; orang Belanda harus memasok air minum gratis kepada awak armada Inggris; dan pemerintah belanda di Surabaya harus mengizinkan pedagang daging untuk menjual dagangannya kepada Inggris.
[19]Gubernur Jenderal Wiese pada tanggal 23 Juli 1805 melakukan inspeksi ke gudang senjata. Melihat apa yang ada di gudang, ia kemudian menulis surat kepada pemerintahan Republik Bataf mengenai kemungkinan sulitnya mempertahankan wilayah koloni mereka di Asia (Lihat dalam Tijdschrift voor Indie terbitan tahun 1879, halaman 443).
[20]Hal ini mebuktikan bahwa Daendels mempercayakan pertahan Jawa kepada pasukan Wurtemberg  sebagai kekuatan intinya. Keyakinan ini nantinya akan mempengaruhi karir Daendels setelah bertugas dari hindia Timur. Oleh napoléon Bonaparte, Daendels diberi tugas untuk memimpin tentara cadangan Wurtenberg dalam rangka penyerangan napoléon Bonaparte ke Rusia pada tahun 1812.
[21]Anonim. “Een kritiek over de Indische leger organisatie en het legerberker van Daendels” dalam Indische Militaire Tijdschrift, tahun 1878, halaman 270.
[22] Disebutkan  bahwa di Prefektur Tegal  dibentuk 80 orang, Pekalongan 50 orang, Semarang 100 orang, Jepara 100 orang, Rembang 50 orang, Gresik 50 orang, Surabaya 80 orang, Pasuruan 100 orang dan Sumenep 100 orang. (pasal 25 Ordonantie den 18 Augustus 1808)
[23]G. Von Faber, 1935.”op.cit.”, halaman 26. 
[24] HW Daendels, 1814. Op.cit. Harga mesiu dianggarkan 15 ringgit per pikul. Budget ini dimasukkan dalam anggaran militer.
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI HINDIA TIMUR[1]
Djoko Marihandono[2]

  1. 1.                  Pendahuluan
Istilah Hindia Timur digunakan untuk menyebut wilayah koloni Belanda yang berada di wilayah Asia. Istilah ini digunakan oleh orang Eropa, baik Inggris (East Indie), Belanda (Oost Indie) maupun Prancis (Inde Orientale). Berdasarkan laporan yang dibuat Daendels[3], sebelum kedatangannya ke Jawa, wilayah Hindia Timur meliputi wilayah pulau Jawa, kepulauan Maluku, Makassar di pulau Sulawesi, dan beberapa wilayah lain seperti Palembang di pulau Sumatera, Banjarmasin di pulau Kalimantan dan sejumlah pulau lain seperti Sumbawa, Bangka, Belitung, Timor dan Seram. Semua wilayah koloni ini berada di bawah kekuasaan  gubernur jenderal dan Dewan Hindia (Raad van Indie) yang berkedudukan di Batavia. Sementara itu, wilayah Jawa, terbagi menjadi empat wilayah administratif yakni Batavia, Kesultanan Cirebon, wilayah Pantai Timur Laut Jawa (Noord-Oostkust), dan Ujung Timur pulau Jawa (Oost-hoek).
            Dalam laporan itu  juga disampaikan bahwa Jawa terbagi atas:
  1. wilayah Batavia meliputi Distrik Batavia dan Pedalaman Batavia (Batavia Ommelanden), Jacatra dan Priangan, Tangerang, Karawang,  Bogor (Buitenzorg),  Tajur, Sumedang, Bandung dan Parakanmuncang. Wilayah Batavia dihuni oleh orang-orang swasta. Sebagian wilayah Kabupaten Jacatra dan Priangan berada di bawah wewenang Dewan Armada Batavia (Raad van Scheppen van Batavia), dan sebagian kecil lainnya di bawah Pejabat Urusan Pribumi (ambtenar).  Pemerintahan sipil dan urusan keamanan di Batavia Ommelanden diserahkan kepada Drossard dan Perwakilan Urusan Pribumi (Gecommitterden tot en over de zaken van den Inlander).
  2. Kesultanan Cirebon dan tiga kabupaten Cirebon di daerah Priangan meliputi wilayah Kabupaten Limbangan, Sukapura, dan Galuh. Kerajaan Cirebon saat itu berada di bawah pemerintahan seorang Residen;
  3. Pantai Timur Laut Jawa (Noord-Oostkust) meiputi wilayah Kabupaten Semarang, Demak, Kendal dan kaliwungu (termasuk Keresidenan Tegal), Pekalongan, Jepara, Juwana dan Rembang. Pantai Timur Laut Jawa dipimpin oleh seorang gubernur yang berkedudukan di Semarang. Sementara itu wilayah Kendal, Pekalongan, Jepara, Juwana dan Rembang berada di bawah kekuasaan Gezaghebber.
  4. Wilayah Ujung Timur Jawa (Oost-hoek) mencakup Keresidenan Gresik, Pulau Madura dan Kangean, wilayah Pasuruan dan Banyuwangi, dan pulau Bawean. Wilayah Oost-hoek ini dipimpin oleh seorang pemegang kuasa (Gezaghebber).
 Sementara itu wilayah yang berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial ini berbatasan dengan
a)      Barat: dengan kerajaan Banten;
b)      Selatan: dengan Vorstenlanden Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta;
c)      Timur: dengan Selat  Bali;
d)     Utara: dengan laut Jawa.

  1. 2.                  Sistem Pemerintahan di Batavia
Semua wilayah pemerintah kolonial di Hindia Timur berada di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia (Raad van Indie). Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia disebut sebagai Pemerintahan Timggi (Hooge Regering). Sampai pada pergantian pengelolaan wilayah Hindia Timur dari VOC kepada pemerintah kolonial, susunan Dewan Hindia terdiri atas:
  1. Gubernur Jenderal;
  2. Direktur Jenderal;
  3. Lima anggota biasa
  4. Lima anggota Luar Biasa.
Kegiatan anggota Pemerintahan Tinggi pada akhir kekuasaan VOC dinilai tidak lagi sesuai dengan tugas utamanya. Direktur Jenderal yang seharusnya mengurus masalah keuangan bersama dengan Gubernur Jenderal, bertindak sendiri tanpa sepengetahuan Gubernur Jenderal. Pembelian yang dilakukan oleh pemerintah selalu merugikan negara. Oleh karena itu, Dewan Hindia sering mendapatkan serangan pada saat dilaksanakannya sidang Dewan Hindia, karena sering dianggap menerima suap dan melakukan korupsi (Daendels, 1814: 5-6). Para pejabat di Hooge Regering ini kebanyakan merangkap jabatan sebagai gubernur, residen atau pun tugas-tugas yang kurang penting seperti penanggung jawab kompleks pertukangan, dan kantor lelang.
            Di Jawa, secara garis besar terdapat dua pemerintahan, yaitu pemerintahan militer dan pemerintahan sipil. Pemerintahan militer tidak akan dibahas dalam makalah ini. Sementara itu, pemerintahan sipil di Jawa terbagi dua, yaitu di bawah pimpinan orang Eropa (Binnenlandsche Bestuur) dan orang pribumi  (Inlandsche Bestuur). Jabatan pemerintahan sipil yang dijabat oleh orang Eropa antara lain:  gubernur, gezaghebber,  dan residen. Di Jawa hanya ada satu gubernur, yaitu Gubernur Pantai Timur Laut Jawa[4] (gouverneur van Java),  dan satu Gezaghebber Ujung Timur Pulau Jawa.[5]
            Jabatan bupati dipegang oleh orang-orang pribumi (inlandsche Bestuur).  Para bupati ini memiliki wilayah yang luas yang berada di bawah kekuasaan yang lebih tinggi lagi, yaitu residen.  Pada saat dilakukan pelantikan seorang bupati yang baru, para pejabat Eropa ini hadir, di samping para pejabat bawahan bupati, sanak keluarga dan undangan lainnya. Pada saat diambil sumpahnya, para bupati ini harus menghadap kiblat. Setelah mengucapkan sumpah, bupati yang baru maju beberapa langkah untuk menghadap residen, kemudian membungkukkan badannya. Residen kemudian memberikan sambutan, yang disusul dengan sambutan bupati yang baru yang berisi ucapan terima kasih kepada residen atas pengangkatan itu.
            Setelah bupati selesai berpidato, bupati yang baru memohon izin kepada residen untuk berpidato di depan bawahan bupati yang ikut hadir pada upacara itu. Biasanya isi pidato itu adalah ajakan untuk bekerja secara bersungguh-sungguh dan menunjukkan kesetiaan kepada atasan (Lubis, 1998:198). Dalam menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh seorang jaksa, penghulu, bupati dalam dan bupati luar. Pemerintahan atas daerah kecil-kecil dan desa yang agak besar diserahkan kepada demang atau mantri besar. Mantri Besar membawahi mantri kecil atau lurah yang memiliki kekuasaan yang amat terbatas di desa-desa kecil (Deventer, 1865:12).
            Para bupati memiliki tingkatan yang dikategorikan berdasarkan gelar yang dimilikinya. Di wilayah Pantai Timur Laut Jawa, terdapat tiga gelar bupati, yaitu Adipati, Tumenggung, dan Ngabehi, tergantung keturunan gelar bangsawan yang dimilikinya.  Para bupati ini diangkat oleh gubenrnur  atau gezaghebber  dengan membayar antara 10.000 sampai 20.000 piaster.  Sementara itu, para bupati ini akan menerima uang bekti dari aparat di bawahnya, yang berupa sejumlah uang sebagai tanda kesetiaanya kepada residen dan bupati.  Pendapatan mereka tidak pasti, karena tidak ada pedoman tentang gajinya.  Pendapatan para bupati ini tergantung dari kemurahan hati residennya.  Sangat sering ditemukan seluruh desa beserta penduduknya diborongkan oleh residen kepada orang Cina yang mampu menawar tinggi  untuk mengeruk keuntungan semaksimal mungkin (Daendels, op.cit. 42; Deventer,  op.cit. 12-15).[6]

  1. 3.                  Sistem Administrasi Pemerintahan pada masa VOC
Sistem administrasi pemerintahan di Jawa sangat lemah, sehingga sangat membahayakan para pemimpin pemerintahan seperti gubernur jenderal, para residen, dan pejabat tinggi Eropa lainnya. Karena kelemahan itu, kehormatan dan kepentingan negara selalu dikorbankan. Kondisi moral pegawai menjadi rusak akibat sistem administrasi yang selama ini berlaku di wilayah ini.  Kondisi perekonomian makin lama makin memburuk. Sehingga tidak mungkin hanya dilakukan dengan perbaikan saja. Laporan yang dibuat oleh komisi yang berulang kali dikirim ke Jawa  termasuk di dalamnya laporan dari komandan Divisi XII Prancis yang dikirim ke Jawa. Laporan itu juga diterima oleh Napoléon Bonaparte pada saat menerima laporan dari komandan tentara Divisi XII yang baru saja menyelesaikan tugasnya di Jawa. [7]
            Pesan yang disampaikan oleh Napoléon Bonaparte kepada Daendels sebelum berangkat ke pulau Jawa pasca dibubarkannya VOC, dikatakan bahwa para pejabat di Hindia Timur memiliki sifat yang mudah menyerah karena rendahnya gaji yang mereka terima. Kondisi ini mendorong para pejabat untuk mencari pendapatan tidak sah di luar gaji yang diterimanya, dengan cara melegalkan perdagangan gelap, memanipulasi bobot penyerahan komoditi ekspor, sampai pada penerimaan kerja wajib yang menindas penduduk pribumi. Dengan demikian tidak ada keuntungan sedikitpun yang bisa diterima oleh negara induk karena sudah habis dikorup oleh pejabat di Hindia Timur.
Kebobrokan administrasi pemerintahan  dilakukan oleh semua oleh pejabat dari gubernur jenderal sampai pejabat terendah. Masalah yang seharusnya menjadi pekerjaan bagi pejabat di Pemerintahan Tinggi tidak pernah dilaksanakan karena gubernur jenderal sebelumnya tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik.  Apa yang telah diinstruksikan oleh gubernur jenderal tidak pernah berhasil dan tidak pernah menyentuh akar persoalan.  Justru yang sangat menonjol adalah upaya untuk memperjuangkan kepentingan pribadi. Bahkan tidak jarang terjadi  gubernur jenderal ditipu dengan persekongkolan yang dilakukan oleh anggota  dewan  untuk melindungi kejahatan yang dilakukannya.
Oleh karena itu, Napoléon Bonaparte memerintahkan kepada Raja Belanda Louis Napoléon saat itu untuk mencari calon gubernur jenderal di Hindia Timur yang dapat menjaga martabat Prancis. Untuk menjaga martabat Prancis di wilayah Hindia Timur, Napoléon Bonaparte menegaskan bahwa ada dua hal pokok yang harus dilakukan oleh gubernur jenderal di Hindia Timur, yakni: menertibkan sistem administrasi negara dan membela pulau Jawa selama mungkin dari ancaman serangan Inggris.
            Sebelum keberangkatannya ke pulau Jawa, Daendels menerima surat keputusan pengangkatan dirinya menjadi gubernur jenderal pada tanggal 28 Januari 1807. Dua tugas utama itu dijabarkan dalam 3 Instruksi Raja Belanda Louis kepada Gubernur Jenderal yang baru. Ketiga instruksi itu adalah a) instruksi untuk Gubernur Jenderal (37 pasal) , b)instruksi untuk Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia (25), serta c)Instruksi kepada Gubernur Jenderal untuk membubarkan Pemerintahan Tinggi di Batavia (Haute Régences des Grandes Indes) (6 pasal). Ketiga instruksi ini diserahkan kepadanya pada tanggal 9 Februari 1807, tatkala ia akan berangkat ke pulau Jawa.  Mengingat besarnya tanggung jawab yang harus dipikulnya, Raja Louis akhirnya menaikkan pangkatnya dari Kolonel Jenderal menjadi Marsekal.[8]
            Sebagai seorang pemimpin patriot yang mengagumi Revolusi Prancis dan Napoléon Bonaparte, Daendels menginginkan untuk menjalankan apa yang sudah digariskan dalam instruksi yang diberikan oleh Raja Louis kepadanya.

  1. 4.                  Upaya Daendels dalam Memberantas Korupsi
Setelah menempuh perjalanan selama 10 bulan, Daendels mendarat di Anyer pada tanggal 1 Januari 1808. Ia melanjutkan perjalanannya melalui jalan darat ke Batavia untuk menemui Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese. Setelah menempuh perjalanan selama 3 hari, pada tanggal 4 Januari 1801 ia disambut oleh komandan militer Serang PP Dupuij di Tangerang, langsung menemui Gubernur Jenderal Wiese pada tanggal itu juga.
            Pada tanggal 14 Januari 1808, ia menerima kekuasaan dari Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese. Sebagai Gubernur Jenderal yang diangkat oleh Raja Belanda Louis dan direstui oleh Napoléon Bonaparte, Daendels menginginkan untuk segera membentuk pemerintahan yang bersih dengan memerangi ketidakefisienan dalam pemerintahan. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa informasi yang ia peroleh baik selama di Belanda, di Prancis, maupun selama dalam perjalanannya (baca di Madrid), ternyata semuanya benar. Banyak pejabat Eropa yang melakukan korupsi dengan membuat tugas mereka menjadi tidak efisien. Untuk melaksanakan salah satu dari tugas utamanya, Daendels melakukan beberapa langkah, antara lain:

  1. a.             Larangan bagi  Semua Pegawai Pemerintah untuk Berdagang
Sebagai Gubernur Jenderal yang baru, yang mengetahui benar kondisi birokrat di Hindia Timur. Daendels melakukan langkah yang didukung oleh semua pegawai pemerintah, yaitu menaikkan gaji semua pegawai pemerintah. Dia yakin bahwa korupsi terjadi karena rendahnya gaji yang mereka terima, sehingga semua hal yang berkaitan dengan uang pasti akan mereka dahulukan. Menaikkan gaji semua pegawai pemerintah memerlukan persetujuan dari Dewan Hindia. Sebagai ketua Dewan Hindia,  Daendels menetapkan standar baru penggajian dari yang paling rendah hingga paling atas.  Daendels membuat pembagian  dengan sistem eselonisasi, sehingga aturannya menjadi lebih jelas, dengan hak dan kewajiban mereka. Sebelumnya, hanya pejabat Eropa saja yang menerima gaji, sementara pejabat pribumi hanya menerima tanah sebagai pengganti gajinya.  Dalam aturan yang baru ini, Daendels memutuskan untuk memberikan gaji setiap bulan secara teratur, termasuk kepada para bupati dan pembantunya.
            Berdasarkan Plakaat Boek  (Chijs, 1895), sebagai konsekuensi dari pemberian gaji kepada semua pegawai pemerintah, ia mewajibkan semua pegawai pemerintah untuk ikut secara aktif menjual hasil produksi pertanian yang merupakan komoditas eksport.  Dia meminta kepada semua pegawai untuk bekerja keras dan berupaya demi kejayaan Raja Louis dan Kaisar Napoléon.  Dia meminta kepada semua pedagang, baik pedagang Cina, Arab, Amerika maupun pedagang Eropa untuk membeli produk komoditi yang jumlahnya malimpah ruah ini.  Dengan lakunya barang komoditas ekspor, maka pemerintah akan memperoleh uang yang dapat digunakan untuk membayar gaji pegawai pemerintah, sehingga mereka tidak perlu lagi untuk memperkaya diri sendiri. Pemerintah akan menghukum siapa saja yang melanggar perintah ini.

  1. b.                  Larangan Menerima atau Mengirim Parsel dan Paket
Tidak lama setelah ia menjabat sebagai Gubernur Jenderal, Daendels memanggil Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolas Engelhard untuk mendengarkan pertanggungjawabannya sebagai gubernur di wilayah Pantai Timur Laut Jawa. Ia memperoleh laporan bahwa para bupati berkewajiban untuk menyetorkan uang pengakuan (uang bekti)  kepada gubernur. Ia melarang untuk memberikan uang pengakuan ataupun parsel, upeti, karena menurut Gubernur Jenderal, hal itu merupakan korupsi pasif. Para pejabat yang menerimanya akan merasa terganggu, sehingga mengorbankan kepentingan negara.
            Dengan dinaikkannya gaji pegawai pemerintah, maka Gubernur Jenderal melarang semua pegawai pemerintah untuk menerima segala macam hadiah kepada atasannya. Daendels memahami bahwa semua pejabat pemerintah menerima berbagai macam hadiah berdasarkan peraturan yang dikeluarkan pada tahun 1743 dan 1797.  Untuk menjaga kepentingan negara dan pemerintah, ia mencabut kedua peraturan itu. Keputusannya itu dikuatkan dengan dikeluarkannya peraturan tanggal 9 Februari 1808 oleh Dewan Hindia. Dengan dikeluarkannya peraturan itu, maka penerimaan hadiah dianggap pelanggaran. Apabila hal itu diketahui oleh pemerintah, maka pelakunya akan dihukum. Namun, apabila orang yang akan memberikan hadiah tidak dapat dicegah, maka hadiah itu harus diserahkan kepada negara.
            Daendels memahami benar bahwa banyak di antara pegawai pemerintah yang tidak paham atau pura-pura tidak paham dengan peraturan baru itu. Maka untuk mempertegas, ia memerintahkan untuk mengeluarkan aturan itu dalam beberapa bahasa, sehingga tidak ada lagi alasan, mereka tidak memahami peraturan baru ini.

  1. c.                   Ketepatan Berat dan Harga Komoditi Dagang
Daendels memahami benar bahwa tidak ada ukuran standar tentang penyerahan hasil komoditi dagang kepada pemerintah. Ia mengetahui bahwa banyak pegawai pemerintah yang mengambil keuntungan dari kesempatan ini, khususnya untuk komoditi dagang lada dan kopi, yang pada saat itu sangat laku di pasaran dunia. Untuk menghindari kondisi seperti itu, ia mengeluarkan beberapa aturan untuk mengatasi korupsi di sektor ini.
            Tanggal 1 Juni 1808, dikeluarkan peraturan kepada gezaghebber  dan para residen yang melarang mereka menjadi agen komoditi dagang.  Hal ini dilakukan karena Daendels menemukan manipulasi bobot komoditi hasil bumi kopi, gula, dan padi yang dilakukan oleh para pejabat.  Di salah satu kabupaten di Priangan misalnya, petani menyerahkan kepada bupati sepikul kopi dengan bobot 250 pon. Para bupati menyerahkannya kepada pejabat Eropa dengan bobot 140 pon sepikulnya. Selanjutnya oleh pejabat Eropa, diserahkan kepada negara kurang dari 120 pon per pikulnya. Kelebihan bobot ini menjadi keuntungan pribadi para pejabat itu, di samping 2 ringgit uang kertas yang diterimanya sebagai upah setiap pikulnya. Langkah ketiga yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal adalah menetapkan berat bobot standar per pikul untuk setiap komoditi hasil bumi ini, yakni 120 pon. Keputusan ini mengakhiri masa kejayaan para pejabat Eropa dan pribumi yang memanfaatkan perbedaan bobot komoditi hasil bumi saat itu. Namun, kenyataan di lapangan berbeda. Para pejabat yang tidak mungkin lagi mempermainkan bobot timbangan, mencari peluang lain dengan mempermainkan penyusutan bobot saat hasil bumi itu dibawa dari perkebunan ke gudang-gudang pemerintah. Melihat penyelewengan tersebut, Daendels mengeluarkan peraturan umum tentang penyusutan bobot dan tarif angkutan pada tanggal 19 Oktober 1808. Peraturan ini mengatur tentang persentase bobot yang diizinkan bagi semua produk komoditi hasil bumi.

d.         Peraturan tentang Penyusutan Komoditi Dagang
Berdasarkan peraturan tentang tarif dan berat, Daendels menyatakan bahwa pemerintah akan mengatur berat penyusutan komoditi dagang yang diserahkan oleh penduduk kepada pemerintah. Peraturan ini dikeluarkan, karena Daendels menemukan berkurangnya/ penyusutan bobot lebih dari 30 jenis komoditi dagang  yang diserahkan oleh penduduk kepada pemerintah.  Untuk beberapa jenis rempah seperti lada, jahe, dan umbi-umbian, pemerintah hanya mengizinkan penyusutan berat tidak lebih dari 2%.  Untuk berbagai jenis padi, gula, garam,  berat penyusutan yang diizinkan tidak boleh melebihi dari 100 bahar setiap koyangnya. Selama transportasi ke gudang pemerintah, kepada semua petugas diinstruksikan untuk tidak menerima penyerahan komoditi dagang apabila terjadi kerusakan dalam pengepakannya.  Dengan demikian, siapapun yang terlibat dalam urusan ini diminta untuk bekerja dengan sangat hati-hati agar packing produk komoditi dagang tidak rusak ketika dibawa ke gudang negara.
            Demikian pula, di gudang-gudang negara, para pekerja harus berhati-hati dalam menjaga komoditi itu agar tidak timbul kerusakan yang disebabkan oleh iklim, hujan, panas matahari ataupun banjir. Pengawasan dan penjagaan barang-marang milik negara yang disimpan di gudang negara ini diserahkan kepada semua petugas administratif di masing-masing gudang.

  1. d.                  Peraturan tentang Pembalakan Hutan
Dengan alasan untuk memelihara hutan, Daendels mengeluarkan peraturan tentang eksploitasi hutan, khususnya tentang perdagangan kayu jati. Kebijakannya tentang kehutanan, tidak dapat dilepaskan dari upaya yang dilakukannya untuk memberantas korupsi yang dilakukan oleh mantan pejabat VOC dari tingkat tertinggi hingga terendah. Informasi tentang mental para pejabat ini telah ia terima sebelum meninggalkan Eropa untuk menuju ke pulau Jawa. Daendels  sangat memahami bahwa di balik hutan terdapat kekayaan alam yang sangat besar.
            Setelah ia melakukan perjalanan ke Semarang, pada bulan April 1808, ia melihat bahwa pulau Jawa menyimpan kekayaan yang sangat besar yang memicu terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat-pejabat di Hindia Timur, yaitu kasus pembalakan liar.  Kekayaan hutan di sepanjang Pantai Utara Jawa, mendorong dirinya untuk segera mengeluarkan peraturan yang mengatur tentang penebangan hutan. Hutan adalah milik negara. Hutan dikelola oleh dinas yang mengelola kehutanan. Oleh karena itu, sebelum menebang pohon jati, semua pejabat kehutanan harus menelaah dan meneliti  sisi negatifnya apabila pohon itu ditebang.  Selanjutnya izin untuk menebang hutan akan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang  apabila para pejabat itu telah siap dengan rencana penggantiannya.
            Untuk menghindari terjadinya pembalakan liar, pemerintah telah mengeluarkan kode rahasia tentang asal muasal kayu jati tersebut. Contohnya kayu jati dari Surabaya, diberikan kode S1; kayu jati dari Gresik diberikan kode G2; kayu dari Rembang diberikan kode R3; J4 adalah kode kayu yang berasal dari Juwana; S5 adalah kode untuk kayu dari Semarang; P6 merupakan kode kayu yang berasal dari Pekalongan; Sementara itu, T7 adalah kode kayu dari Tegal dan C8 berasal dari Cirebon. Sementara itu kode I9 merupakan kode kayu yang berasal dari Indramayu. Semua kayu sudah ditentukan ukurannya, yang harus disimpan di gudang-gudang kayu pemerintah. Apabila diketahui ada orang yang membawa kayu tanpa adanya kode tersebut, maka kayunya disita untuk negara, sementara orangnya ditangkap kemudian dihadapkan kepada Inspektur Jenderal Kehutanan untuk dijatuhi hukuman.
  1. 5.                  Sangsi
            Penyelewengan atas komoditi hasil bumi dan hutan dikenai sangsi yang berat. Jika terbongkar, mereka akan dihukum dengan denda, kehilangan jabatan, atau bahkan hukuman mati. Mereka yang kedapatan melakukan kecurangan senilai lebih dari 3 ribu ringgit atau setara dengan 1 bulan gaji Ketua Dewan Hindia (Raad van Indie) akan disidangkan dan dijatuhi hukuman mati dengan cara ditembak. Sangsi yang berat benar-benar dijalankan oleh Daendels, sehingga membuat jera para pejabat saat itu.

  1. 6.                  Kesimpulan
Selama pemerintahannya Daendels berhasil untuk meminimalisir korupsi. Ia berhasil menjalankan kebijakannya dengan baik, bukan karena pengalamannya sebagai pegawai pemerintah kolonial, melainkan dari pengalaman militer dan pengabdiannya di Legion Etrangère, pasukan asing bentukan Napoléon Bonaparte selama perjuangan kaum Patriot melawan rezim Willem V. Sebagai pengagum Revolusi Prancis dan Napoléon Bonaparte ia sanggup untuk menjadi “abdi negara” di bawah Raja Louis dan di bawah perlindungan Kaisar Napoléon Bonaparte.  Daendels merupakan manusia pada zamannya, yang harus mengemban tugas dari orang yang sangat dikaguminya, yaitu Kaisar Napoléon Bonaparte.  Maka dari itu, ia melakukan pengontrolan terhadap  para pejabat dengan sangat ketat. Pemberantasan korupsi dilakukannya karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Revolusi, karena hanya menguntungkan diri sendiri dan mengorbankan kepentingan rakyat dan negara.  Semuanya ini dilakukannya demi melaksanakan apa yang diperintahkan baik oleh Raja Belanda Louis maupun Kaisar Napoléon, yaitu menjalankan sistem pemerintahan yang bersih agar membawa manfaat bagi negara induknya.
            Sosok Daendels merupakan sosok yang ditakuti oleh semua pegawai pemerintah. Ia secara konsisten menjalankan apa yang sudah diaturnya. Ia benar-benar melaksanakan hukuman mati bagi para koruptor sesuai dengan aturan yang dibuatnya. Hal ini dilakukan karena bantuan keuangan dari negara induk tidak pernah datang sebagai akibat dari blokade Inggris atas pulau Jawa. Kondisi inilah yang membuat Daendels harus mencari uang sendiri guna membayar semua pegawai pemerintah.  Oleh karena itu, tindakan membrantas korupsi menjadi prioritasnya untuk menghemat keuangan negara.
            Langkah yang dilakukannya dengan menaikkan gaji semua pegawai pemerintah merupakan tindakan yang paling awal dilakukan oleh Gubernur Jenderal Daendels. Hal ini dilakukannya agar pegawai pemerintah tidak lagi melakukan hal-hal yang dinilainya sebagai memperkaya diri sendiri dengan mengorbankan semua kepentingan pemerintah. Melarang pegawai pemerintah menerima uang bekti, upeti atau pun lainnya tiada lain untuk menghindarkan diri dari korupsi pasif, yang akan menganggu pegawai pemerintah dalam menjalan tugas yang diembannya.
            Sebagai orang yang mengagumi Revolusi Prancis dan Napoléon Bonaparte, Daendels merupakan sosok yang berhasil menjalankan salah satu instruksi utama Napoléon Bonaparte kepadanya, yakni menciptakan pemerintahan yang bersi yang mengangkat martabat dan kemuliaan bangsa Prancis di wilayah koloni Hindia Timur.


Rujukan

Arsip
Daendels, Herman Willem. 1814. Staats der Nederlandsche Oostindische Bezittingen Onder hat Bestuur van den Gouverneur General Herman Willem Daendels in de jaren 1808—1811. Bijlagen eerste en tweede stukken.
-          Publicatie, den 14 Maart 1808
-           Publicatie, den 6 April 1808
-          Instructie voor den Inspecteur Generaal der koffij-culture den 9 junij 1808
-          Instructie voor de Inspecteur Generaal over alle Houtboschen op het eiland Java den 21 Augustus 1808
-          Instructie voor den President en Leden van de administratie des Houtboschen den 21 Augustus 1808
-          Instructie voor den Secretaris van den Asministratie der Houtboschen den 21 Augustus 1808
-          Instructie voor den Boschganger den 21 Augustus 1808
-   Provisioneel Instructie voor de Europeesche Opzichter der Stapelplaatsen van Houtwerken den 5 Maart 1809
-    Instructie den 29 Augustus 1809
-     Generaal Reglement en Tarief, rakende de afschrijvengen van oderwigten en minderheden of spillagie voor de Administrateurs, Pakhuismeesters, als scheps overheden, zoo ter dezer Hoofplaatse, als op alle Kantoren of Hollandsche Bezittingen in Indien den 19 October 1809
-    Reglement, waarnaar de koelies, die in de respective administratien dienst doen, voortaan zullen worden betaald, item welk getal dat voor ieder administratie op zijn hoogst zal worden te goed gedaan den 9 Maart 1809
-      Tarief van vracht-gelden en bepaling der koijangs bij den tegenwoordigen tijd van oorlog.
-  Ordonnantie voor het Praauw of Tjuinia veer te Batavia den 17 van   Wijnmaand 1810.
Roo, LWG de. 1909.  Documenten omtrent Herman Willem Daendels: Gouverneur Generaal van Nederlandsch Oost-Indie.  Eerste en Tweede Deel. ‘S Gravenhage: Martinus Nijhoff.
II.        Buku Acuan
Akihary. H. Et all. 1991. Herman Willem Daendels 1762—1818.  Utrecht: Matrijs.
Al-Misri, Abdullah Bin Muhammad.1987.  Naskah Dokumen Nisantara VI: Hikayat Mareskalk I, Hikayat Mareskalek II, Cerita Siam, Hikayat Tanah bali.  Disunting oleh Monique Zaini Lajoubert.  Bandung: Penerbit Angkasa dan EFEO.
Breman, Jan. 1986.  Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja di Jawa di Masa Kolonial.  Jakarta: LP3ES.
Burgst, Nahuys van. 1835. Verzameling van Officielle Rapporten Bettreffende den Oorlog op Java 1825—1830.Deventer, M. Balot.
Chis, JA van der. 1895. Plakaatboek 1602-1811. Volume 14.Batavia: Laandsdrukkerij.
Colenbrander,  HT. 1925. Koloniale Geschiedenis, jilid II. ‘S Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Day, Clive. 1904.  The Dutch in Java.  Kuala Lumpur:OxfordUniversity Press.
Deventer, JSZ. 1865. Bijdragen tot de Kennis van het Landelijk Stelsel op Jawa. Jilid I. S’Gravenhage: John Noman en Zoon.
Eymeret, Joël. t.t. Herman Willem Daendels Général Napoléonien Gouverneur à Java.Phd dissertation, EHESS, Paris.
————–, 1973. “L’Administration napoléonienne en Indonésie.” In  Revue Française d’histoire d’Outre Mer. No. 218, ler Semestre 1973.
Haak, A. 1938.  Daendels.Rijswijk.
Heuken, Adolf, Sj. 2000. Galangan Kapal Batavia Selama Tiga Ratus Tahun.  Jakarta: Cipta Loka Caraka.
Kleintjes, PH. 1927. Staatsinstellingen van Nederlandsch-Indie. Amsterdam: JH de Bussy.
Mendel, Dr. I. 1800. Herman Willem Daendels voor zijne Benoeming tot Gouverneur Generaal van Oost-Indie  1762—1807. S’Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Pereboom, F dan H.A. Stalknecht. 1989.  Herman Willem Daendels (1762—1818).  Kampen.
Wessem, Constant Van. 1932. De Ijzeren Maarschalk. Amsterdam: De Spegel.





[1]Makalah ini disajikan pada diskusi tentang VOC: Pedagang atau Penjajah, yang diselenggarakan pada tanggal 25 Mei 2011 di Fadli Zon Librairy, Jakarta.
[2]Penulis adalah pengajar di Departemen Sejarah, Program Studi Prancis, Fakultas Ilmu Pengetahuan  Budaya Universitas Indonesia. Bidang yang menjadi perhatiannya adalah hubungan antara Eropa dan wilayah koloninya di Hindia Timur pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX. Penulis dapat dihubungi di djoko_marihandono@yahoo.com.
[3]Lihat laporan yang ditulis sendiri oleh H.W Daendels dalam Staat der Nederlandsch Oostindische Bezittingen, onder het Bestuur van den Gouverneur-Generaal Herman Willem Daendels.’ ‘s Gravenhage.1814
[4]Wilayah Gubernur Pantai Timur Laut Jawa meliputi Semarang, Tegal, Pekalongan, Jepara, Juwana, Rembang, Gresik. Gubernur Pantai Timur Laut Jawa berkedudukan di Semarang;
[5]Gezaghebber Pantai Timur Laut Jawa berkedudukan di Surabaya. Wilayahnya meliputi Keresidenan Gresik, Tuban, Pasuruan. Para residen ini membawahi beberapa kabupaten, yang dipimpin oleh bupati.
[6]Menurur Deventer, pada tahun 1803, dari 16.083 desa yang berada di bawah pemerintah kolonial Belanda, 1.466 desa yang disewakan kepada orang Cina. Di Keresidenan Pekalongan, 37 desa disewakan kepada orang Cina, di kabupaten Ulujami sebanyak 2.023 disewakan kepada orang Cina, di keresidenan Tegal hanya 9  dari 1.645 desa yang masih bebas tidak disewakan kepada orang Cina.
[7]Joel Eymeret, 1973.  “L’Administration napoléonienne en Indonésie.” In  Revue Française d’histoire d’Outre Mer. No. 218, ler Semestre 1973.
[8]Lihat HW Daendels, Op.Cit. 1814: Eerste Deel, nomor 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar