Tambahan Pengetahuan
Materi Seminar By:
Djoko Marihandono Universitas Indonesia
- 1. Pendahuluan
Dalam
sejarah nasional Indonesia, masa awal abad XIX merupakan masa yang amat
penting. Pada masa ini, wilayah koloni Hindia Timur berada di bawah kekuasaan 3
negara adidaya Eropa, yakni Republik Bataf (1795—1806), Kekaisaran Prancis
(1806—1811), dan pemerintahan Inggris (1811—1816). Masa ini merupakan masa yang
sangat penting bagi wilayah koloni Hindia Timur, karena tidak pernah terulang
pada periode-periode berikutnya.
Situasi politik dan ekonomi di Hindia Timur (istilah untuk menyebut Hindia
Belanda saat itu), pada akhir abad XIII hingga awal abad XIX sangat
sulit. Hal ini terjadi sebagai akibat dari
perseteruan antara Inggris dan Prancis di Eropa. Perseteruan kedua negara adidaya itu berdampak di Hindia Timur yang berupa blokade laut yang dilakukan oleh Inggris atas pulau Jawa. Dengan terjadinya blokade itu, pemerintahan di Belanda berupaya untuk memperkuat pulau Jawa dengan cara melakukan organisasi militer di wilayah koloni ini. Topik inilah yang akan dibahas dalam makalah ini. Tulisan ini akan diawali pada tahun 1795, tatkala di Belanda didirikan Republik Bataf. Republik Bataf merupakan negara satelit yang didukung sepenuhnya oleh pemerintah Prancis. Tahun 1811 merupakan akhir dari pembahasan dalam makalah ini, karena sejak 18 September 1811, wilayah koloni Hindia Timur secara resmi menjadi milik Inggris sebagai konsekuensi ditandatanganinya Kapitulasi Tuntang.
perseteruan antara Inggris dan Prancis di Eropa. Perseteruan kedua negara adidaya itu berdampak di Hindia Timur yang berupa blokade laut yang dilakukan oleh Inggris atas pulau Jawa. Dengan terjadinya blokade itu, pemerintahan di Belanda berupaya untuk memperkuat pulau Jawa dengan cara melakukan organisasi militer di wilayah koloni ini. Topik inilah yang akan dibahas dalam makalah ini. Tulisan ini akan diawali pada tahun 1795, tatkala di Belanda didirikan Republik Bataf. Republik Bataf merupakan negara satelit yang didukung sepenuhnya oleh pemerintah Prancis. Tahun 1811 merupakan akhir dari pembahasan dalam makalah ini, karena sejak 18 September 1811, wilayah koloni Hindia Timur secara resmi menjadi milik Inggris sebagai konsekuensi ditandatanganinya Kapitulasi Tuntang.
Menjelang akhir abad XVIII, terjadi peristiwa besar di Belanda. Pasukan Patriot
yang dibantu oleh Prancis berhasil mendesak Stadhouder Willem V dari
Dinasti Oranye yang saat itu dibantu oleh pasukan Wurtemberg. Pada 17 Januari
1789 pagi, Willem V berangkat melalui Scheveningen menuju Texel yang selanjutnya
mengungsi ke Inggris. Kaum Patriot yang dibantu oleh pasukan Prancis di bawah
pimpinan Jenderal Pichegru berhasil menguasai kota-kota penting Belanda dan
memproklamirkan pembentukan negara baru yang diberi nama Republik Bataf (Bataavsche
Republiek) pada 19 Januari 1795. Beberapa saat kemudian Komite Revolusioner
Bataf mengumumkan diberlakukannya konstitusi baru Republik Bataf pada 4
Maret 1795. Dalam konstitusi ini disebutkan bahwa bentuk pemerintahan
Belanda adalah Republik kesatuan. Dalam konstitusi itu juga disebutkan bahwa
pemerintahan dipegang oleh sebuah dewan yang anggotanya diangkat oleh Komite
Revolusioner Bataf. Dewan ini dipimpin oleh mantan pengacara Amsterdam
yang bernama Jan Rutgers Schimmelpenninck dengan jabatan Raadpensionaris.
Sebagai akibat dari ekspansionisme Napoléon Bonaparte di Eropa, posisi Belanda
menjadi sangat penting. Belanda merupakan satu-satunya akses bagi Inggris untuk
mendaratkan pasukannya ke Eropa. Oleh karena itu, Kaisar Napoléon
Bonaparte melihat betapa pentingnya posisi Belanda bagi Prancis. Setelah
beberapa kali wilayah Belanda digempur oleh armada Inggris, pada 5 Juni 1806,
Kaisar Napoléon Bonaparte memanggil anggota parlemen Republik Bataf ke istana
Tuillerie di Paris. Dari hasil pertemuan itu, Kaisar Napoléon Bonaparte
memutuskan untuk mengubah sistem pemerintahan di Belanda dari bentuk Republik
menjadi kerajaan. Perubahan sistem pemerintahan ini bertujuan untuk memudahkan
koordinasi dalam bidang militer, politik dan administrasi pemerintahan,
khususnya dalam upaya menghadapi Inggris. Secara terus terang Napoléon
Bonaparte mengatakan bahwa tidak ada seorang pun mampu untuk memimpin Belanda
saat itu.[3] Ia akan menyerahkan kekuasaan
wilayah Belanda kepada orang Prancis, yang sudah teruji kesetiaan dan
kemampuannya. Pilihannya adalah Louis Napoléon Bonaparte, yang tidak lain
adalah adik kandungnya sendiri. Louis saat itu masih aktif dalam dinas
ketentaraan Prancis Grande Armée yang berpangkat juga Jenderal. Pada tanggal
itu juga Louis dilantik menjadi Raja Belanda. Satu minggu kemudian, tepatnya
tanggal 23 Juni 1806 Raja Louis dan permaisurinya Hortense tiba di Den Haag dan
memulai pemerintahannya.
Namun, harapan Napoléon Bonaparte terhadap Louis tidak seperti yang
diharapkannya. Tatkala Napoléon berhasil menguasai wilayah Spanyol, ia dan
pasukannya tidak mampu menaklukan pasukan gerilya Spanyol. Untuk menumpasnya,
Kaisar mengerahkan pasukan yang besar. Untuk keperluan itu, ia
memerintahkan kepada raja Belanda Louis untuk mengirimkan tiga ribu serdadu
Belanda. Ketika permintaan ini dipenuhi oleh Louis, kekuatan Belanda yang
berjumlah 9 ribu pasukan menjadi berkurang. Hal ini diketahui oleh Inggris yang
diikuti dengan pendaratan pasukannya di Belanda Utara. Pada bulan Juli 1809
pasukan Inggris yang berkekuatan sebanyak 40 ribu yang diangkut dengan armada
sebanyak 264 kapal perang mendarat di pantai barat Belanda. Mereka menduduki
Zeeland, pulau Walcheren. Setelah terjadi pertempuran sengit selama 17 hari,
Inggris berhasil menguasai Vlissingen pada 15 Agustus 1809. Kekalahan ini
dilaporkan kepada Kaisar Napoléon. Namun, ia justru menuduh Louis telah berbuat
lalai dan menduganya sebagai “mata-mata Inggris”. Sejak itu terjadilah konflik
antara Napoléon dan Louis. Perselisihan ini semakin meruncing dan mengarah pada
gagasan Napoléon untuk menganeksasi wilayah Belanda dan menyatukannya ke
dalam wilayah Perancis. Louis yang mendengar rencana tersebut mengajukan keberatan.
Alasan Louis adalah bahwa Belanda tetap memiliki hak sebagai negara merdeka,
bukan sebagai negara boneka Perancis. Di sisi lain Napoléon menduga bahwa
menurut lokasi geografinya, Belanda merupakan pintu gerbang menuju Perancis
bahkan ke daratan Eropa. Berdasarkan pertimbangan tersebut, bagi Napoléon lebih
tepat apabila Belanda langsung dikendalikan dari Paris untuk memudahkan
koordinasi dalam strategi pertahanan militernya. Ketika Napoléon tidak melihat
jalan keluar lain untuk mengatasi hal ini, pada tanggal 9 Juli 1810 dia
memerintahkan pasukan Perancis memasuki Amsterdam dan mendudukinya.[4] Keesokan harinya Napoléon
mengumumkan bahwa sejak tanggal 10 Juli 1810 Belanda menjadi bagian dari
Perancis.[5] Dengan pengumuman itu, Louis
tidak lagi menjabat sebagai raja Belanda lagi setelah sistem pemerintahan
kerajaan Belanda dihapuskan.
Berita
tentang penghapusan kerajaan Belanda ini diterima secara resmi oleh Gubernur
Jenderal Daendels di Batavia pada bulan Februari 1811 melalui surat yang
dikirimkan oleh Menteri Angkatan Laut dan Koloni kepadanya. Sebenarnya,
Daendels telah menerima berita aneksasi Belanda ini melalui pelaut-pelaut
Amerika dan dari koran yang ia baca. Dengan demikian, ia semakin yakin bahwa
dalam waktu yang tidak terlalu lama, Inggris pasti akan menyerang pulau Jawa.
Untuk menghadapi ancaman Inggris itu, ia menyusun strategi pertahanan dalam
upaya mempertahankan Pulau Jawa.
- 2. Kondisi Hindia Timur antara akhir abad XVIII dan awal abad XIX
Ketika
negara induk mengalami pergolakan yang berakhir dengan pergantian pemerintahan
(dari stadhouder menuju ke Republik), kondisi wilayah koloni di Tanjung
Harapan dan Hindia Timur mengalami situasi yang amat buruk. Kekuatan armada VOC
menjelang akhir abad XVIII tidak dapat diharapkan lagi untuk mempertahankan
wilayah-wilayah koloni. Kondisi ini menyebabkan VOC tidak mampu lagi bersaing
dengan armada negara Eropa lainnya. Kapal-kapal maupun persenjataan VOC
kebanyakan sudah berusia lebih dari satu abad dan tidak pernah diperbaharui
sebagai akibat dari ketiadaannya anggaran untuk memperbaharuinya. Kondisi
wilayah koloni ini sangat tergantung kepada negara induk.
Menjelang akhir abad XVIII, VOC harus bersaing ketat dengan perusahaan asing
lainnya di Asia, yaitu East Indie Company (EIC), kongsi dagang Inggris yang
berpusat di Calcutta, dan Compagnie des Indes, kongsi dagang Prancis
yang berpusat di Madras.[6] Dengan demikian, persaingan
dagang di perairan Asia dan Afrika meningkat dengan tajam. Persaingan ini tidak
hanya menyangkut bidang ekonomi, tenaga kerja, harga komoditi, tarip angkutan
dan bea cukai, tetapi mengarah kepada ancaman akan monopoli masing-masing
kongsi dagang tersebut. Dengan demikian, upaya melakukan monopoli sudah tidak
dapat lagi dipertahankan bahkan menjadikan suasana tegang di wilayah koloni.
Sering terjadi konflik terbuka di wilayah-wilayah ini. VOC tidak dapat
menghindarkan diri dari situasi ini. Ancaman utama justru datang dari
para pedagang EIC. Pedagang EIC ini mendapatkan dukungan penuh dari
pemerintah Inggris di London yang menjadikan perusahaan dagang tersebut sebagai
ujung tombak penguasaan wilayah koloni baru di kawasan timur Tanjung Harapan,
termasuk wilayah koloni Hindia Timur. Dengan pusatnya di Calcutta, EIC
memperluas pengaruhnya di daerah sekitarnya, terutama wilayah yang telah
dikuasai oleh Prancis. Sementara itu EIC juga berhasil memperluas wilayahnya
hingga daerah Benggala dengan berakhirnya kekuasaan dinasti Mongol tahun 1744.[7] Dengan dibantu oleh angkatan
laut Inggris (British Navy Admiralty), armada laut EIC menjadi
kekuatan yang tidak tertandingi di lautan Afrika maupun Asia. Kehadiran armada
ini menjadi ancaman utama bagi jaringan perdagangan VOC yang terbentang dari
Samudra Hindia sampai Asia Timur.[8]
Seiring dengan naiknya kekuatan tempur armada Inggris di Afrika dan Asia, kekuatan
tempur VOC mengalami kemerosotan yang sangat tajam, sehingga tidak mampu
mempertahankan kekuatannya seperti pada periode abad XVII. Proses penaklukan
yang dilakukan oleh VOC tidak mendapatkan dukungan finansial dari para pemilik
saham. Mengingat keinginan menambah kekuatan di Hindia Timur sudah tidak
memungkinkan lagi dilakukan, perekrutan tentara dilakukan dengan menambah
tentara yang berasal dari tenaga pribumi lokal atau dari wilayah pulau-pulau di
sekitarnya. Perekrutan tenaga lokal ini jauh lebih murah beayanya.
Sebagian tenaga-tenaga lokal ini juga diperoleh dari bantuan para raja lokal,
yang disebut sebagai hulptropen.
Namun demikian, kekuatan VOC tidak dapat diharapkan lagi ketika menghadapi
ancaman pasukan Inggris yang telah beberapa kali menganggu penduduk di pantai.
Hal ini tidak dapat dicegah karena keterbatasan kapal yang dimiliki VOC, yang
kebanyakan sudah satu abad dan tidak dirawat, anak buah kapal yang tidak
terampil, persenjataan yang sudah kuno dan berkarat. Hal inilah yang
menyebabkan kekalahan Belanda dalam Perang Laut Tujuh Tahun (1756—1763),
armada VOC di Samudra Hindia dihancurkan oleh armada EIC. Peperangan ini
sebenarnya bertujuan mengalahkan kekuatan maritim Prancis dan merebut monopoli
maritim VOC, maka Inggris tidak meneruskan penyerangannya ke Hindia Timur.
Dengan peristiwa ini, kapal-kapal Inggris bebas berlayar di semua perairan
Hindia Timur, yang sekaligus mengakhiri dominasi laut VOC di wilayah koloninya.
Dalam sejarah VOC di Hindia Timur, pernah terjadi kudeta yang dilakukan oleh
Ketua Dewan Hindia (Raad van Indie) Gustaaf Willem Baron van Imhoff
terhadap Gubernur Jenderal Valckenier. Van Imhoff menuduh Gubernur Jenderal
Valckenier sebagai satu-satunya orang yang bertanggung jawab terhadap peristiwa
pemberontakan Cina di Batavia yang menyebabkan terbakarnya kota Batavia.
Akhirnya Valckenier dipecat oleh Heeren XVII atas izin raja
Belanda Willem II yang saat itu menjadi stadhouder, kemudian melantik
Baron van Imhoff sebagai gubernur jenderal. Pada masa pemerintahannya, ia
melanjutkan rencana Valckenier untuk membentuk satuan wilayah baru di Jawa,
yaitu pemerintahan Pantai Timur Laut Jawa (gouvernement van Noordoostkust
Java) dan Ujung Timur Jawa (Oosthoek van Java).[9] Pembentukan wilayah
adminitrasi atas pulau Jawa adalah agar dapat dibentuk wilayah yang semakin
baik, dan dapat dengan mudah dikontrol oleh pemerintah di Batavia. Kedua
wilayah ini dipimpin oleh seorang gubernur. Namun, wilayah ini
menimbulkan persoalan baru karena utusan dari Republik Bataf (Nederburgh) tidak
berhasil menyingkirkan para koruptor di wilayah ini. Membaca laporan tersebut
Jan Rutger Schimmelpenninck merasa perlu untuk melakukan reorganisasi di
wilayah ini. Menjelang tahun 1800, ia membentuk Dewan Koloni Asia yang
bertanggung jawab langsung kepada Direktur Pemerintahan.[10] Namun, Dewan Koloni Asia
tidak dapat berbuat banyak karena tidak tersedianya fasilitas dan terjadinya
blokade laut di perairan Asia, tidak memungkinkan baginya untuk melakukan
komunikasi dengan wilayah koloni. Nederburg akhirnya kembali ke Belanda dan
menuliskan kondisi wilayah koloni yang sangat memprihatinkan.
Schimmelpenninck memberikan reaksi positif atas laporan itu dengan menyediakan
dana sebesar 2,6 juta Gulden. Dana ini digunakan untuk membentuk sukarelawan
yang bersedia menjadi tentara di Hindia Timur. Jumlah orang yang telah direkrut
sebanyak 800 orang pada tahun 1806. Mereka dilatih secara singkat dan segera
diberangkatkan ke Hindia Timur diangkut dengan menggunakan kapal dagang Wils
& Co menuju Asia. Namun, ketika kapal melewati pelabuhan Den Helder, pemerintah
Prancis melarangnya untuk melanjutkan perjalanan ke Asia dengan alasan pasukan
itu diperlukan untuk memperkuat wilayah Belanda Utara sebagai tentara
cadangan dalam melawan gempuran Inggris di Belanda Utara.[11]
Schimmelpenninck
akhirnya mengrimkan surat kepada Sieberg tentang penundaan pengiriman pasukan.
Surat ini tidak pernah diterima oleh Sieberg karena jabatan Gubernur Jenderal
telah diserahkan kepada penggantinya Albertus Henricus Wiese. Surat keputusan
pengangkatan Wiese tiba di Batavia tanggal 29 Juni 1806, yang mengangkat Wiese
sebagai Gubenur Jenderal yang berpangkat letnan Jenderal militer Kerajaan
Belanda.
- 3. Reorganisasi Militer di Hindia Timur
Dalam upaya
menghadapi ancaman serangan Inggris, pemerintah Batavia melakukan reorganisasi
militer, yaitu reorganisasi angkatan laut dan reorganisasi angkatan darat.
Reorganisasi angkatan laut dilakukan dengan mengirimkan beberapa kapal secara bertahap
ke Hindia Timur, sementara reorganisasi angkatan darat baru dilakukan setelah
Daendels tiba dan berkuasa.
3.1
Reorganisasi Armada Laut
Rezim
Napoléon memprioritaskan faktor keamanan dan pertahanan di semua wilayah yang
dikuasainya. Oleh karena itu, wilayah-wilayah strategis harus diperhatikan dan
diperahankan seperti Tanjung Harapan, Mauritius di Isle de France, dan Ceylon.
Ketika VOC berkuasa, wilayah-wilayah itu dihubungkan dengan armada dagangnya
yang dipersenjatai.[12] Sementara itu Prancis
menekankan pada aspek militernya dalam menghadapi blokade laut Inggris.
Setelah tanggal 1 Januari 1800, Gubernur Jenderal saat itu, Van Overstraten,
mengubah status semua pejabat tinggi dan pejabat Belanda dari pegawai VOC
menjadi pegawai negara. Beberapa wilayah di Hindia Timur pada pergantian
abad sudah dikuasai oleh Inggris kecuali Jawa, Ternate, Manado, Makassar dan
sekitarnya, bagian selatan pulau Timor, Palembang dan kantor Banjarmasin
yang masih dikuasai oleh Belanda.[13]
Setelah perubahan status itu, pada 23 Agustus 1800 dilaporkan bahwa lima armada
Inggris menguasai Teluk Batavia setelah menguasi pulau Onrust dan Kuiper dengan
menghancurkan semua kapal yang berlabuh di sana. Kapten Ball mengirimkan
perwira angkatan laut menemui gubernur jenderal untuk menyampaikan perintah
atasannya, Laksamana Muda P. Reinier, agar bersedia untuk menyerah. Gubernur
Jenderal Van Overstraten menolaknya, sehingga armada Inggris melakukan blokade
laut atas pulau Jawa sambil menunggu armada Inggris lainnya. Upaya menyerang
Batavia terjadi lagi pada bulan Oktober 1800. Inggris berhasil mendaratkan
pasukannya di muara Marunda. Namun, pada tanggal 9 November 1800, armada
Inggris harus meninggalkan Marunda setelah mendapatkan perlawanan dari pasukan
Belanda di bawah pimpinan Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolas Engelhard.
Untuk sementara waktu tidak ada lagi penyerangan dari pihak armada Inggris,
karena di Eropa telah terjadi kesepakatan damai antara Inggris dan Prancis yang
ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1802 di kota Amiens. Laksamana Dekker yang
habis kontrak kerjanya pada awal tahun 1804, harus segera meninggalkan Jawa
sebelum tanggal 15 Oktober 1803. Namun, keberangkatan Dekker dicegah oleh
Gubernur Jenderal karena berdasarkan berita dari koran Amerika yang
diterima di Batavia, Inggris telah mengumumkan perang kembali dengan Prancis
dan Republik Bataf. Atas dasar inilah Dekker diminta untuk tetap berada
di Batavia. Dekker menolaknya, dan berniat kembali ke Eropa. Setibanya di Ile
de France pada tanggal 3 Nopember 1803, ia bergabung dengan Laksamana Mist dan
Laksamana Jan Willem Janssens. Dekker diminta untuk kembali ke Batavia,
sementara De Mist dan Janssens melanjutkan perjalanannya menuju Tanjung Harapan
dengan dikawal oleh tiga kapal perang yang bersenjata lengkap. Namun, Dekker
menolaknya, karena di Jawa, dia akan menjadi anak buah Laksamana Hartsinck yang
pangkatnya lebih rendah dari dirinya.[14]
Laksamana Muda Hartsinck tiba di Jawa dengan menggunakan kapal kompeni lama dan
dikawal oleh dua kapal yang dikirimkan dari Tanjung Harapan oleh Laksamana de
Mist. Dengan demikian, jumlah kapal yang berada di Hindia Timur sebanyak 13
kapal. Pada tanggal 12 Desember 1803, datanglah Laksamana Linois di pelabuhan
Batavia dengan membawa 200 orang tentara Prancis. Bersama dengan pasukan ini
ikut serta Jenderal de Gosson beserta staf perwira tinggi yang berjumlah 40
orang. Ia menyatakan bahwa dirinya diberi tugas oleh Premier Consul (baca:
Napoléon Bonaparte) untuk memimpin pasukan Prancis di Jawa di Hindia Timur.
Namun, pemerintah di Batavia menolaknya karena ia tidak dapat menunjukkan surat
tugasnya. Batavia menerima 200 bantuan tentara Prancis, sementara
Jenderal de Gosson dan stafnya dikirimkan kembali ke Isle de France di
kepulauan Mauritius. Ketika Gubernur Jenderal Sieberg dan anggota Dewan Hindia
meminta tambahan pasukan, Laksamana Lonois menolaknya.
Blokade laut atas pulau Jawa yang dilakukan oleh armada Inggris terus
dilakukan. Pada tanggal 18 Oktober 1806, sebuah kapal Inggris muncul di
pelabuhan Batavia. Kapal ini kemudian merampok sebuah kapal layar dan sebuah
fregat. Satu bulan kemudian, tanggal 26 November 1806, tujuh kapal Inggris yang
dipimpin oleh Laksamana Sir Edward Pellew muncul di Laut Jawa. Pellew menerima
instruksi, yang disampaikan melalui armada lainnya yang baru bergabung, untuk
menghancurkan semua armada Belanda yang berada di sekitar laut Jawa. Ketika
Pellew akan mendaratkan armadanya di Batavia, di pelabuhan Batavia terdapat 20
kapal dagang dan 8 kapal perang yang sedang berlabuh di pelabuhan itu.[15] Akhirnya Pellew
mengerahkan 18 buah armada perangnya untuk menghancurkan semua kapal yang
berlabuh di pelabuhan Batavia. Pellew tiak melanjutkan misinya dengan
pendaratan, tetapi terus melakukan patroli di laut Jawa.[16] Pada bulan April kembali
armada Inggris merampas empat kapal dagang Belanda. Kondisi ini menyebabkan
Laksamana Hartsinck mengundurkan diri. Namun, ia meninggal pada tanggal 8 Juli
1808 di Baltimore, Amerika Serikat dalam perjalanan pulang ke Belanda.
Patroli Armada Inggris juga berhasil mencegat kapal Perang Belanda Scorpio yang
sedang mengawal kapal dagang dari Batavia ke Semarang. Pellew juga berhasil
menangkap korvet Belanda yang dilengkapi dengan 20 meriam di pelabuhan
Semarang.
Pada bulan Desember 1807, delapan armada Pellew berada di pelabuhan Gresik,
Surabaya.[17] Ia mengirim sebuah rakit yang
ditumpangi oleh beberapa perwira untuk menyampaikan surat kepada komandan
pelabuhan Gresik, Kapten Cowell. Isi surat itu antara lain bahwa Inggris tidak
akan menyerang apabila pemerintah di Surabaya bersedia menyerahkan kapal-kapal
itu. Namun, komandan keamanan di Surabaya justru menangkap mereka. Insiden ini
menimbulkan kemarahan Pellew yang mendaratkan 1.400 orang marinirnya untuk
menguasai Surabaya. Insiden dikuasainya kota Surabaya oleh tentara Inggris
menimbulkan ketegangan bagi para penguasa Belanda di Surabaya. Setelah
disepakatinya perdamaian antara penguasa Batavia dan Laksamana Pellew, Pellew
menarik pasukannya dengan menyita semua armada laut Belanda.[18] Dengan demikian penguasa
Ujung Timur pulau Jawa tidak lagi memiliki armada laut. Hal ini berarti
habislah kekuatan laut pemerintahan Belanda di Hindia Timur.
3.2
Reorganisasi Angkatan Darat
Menjelang
pembubaran VOC, kondisi angkatan darat Belanda di Hindia Timur sangat buruk.
Pemerintah Belanda mengirimkan beberapa gelombang serdadu baru dari Eropa ke
Batavia. Kondisi mereka sangat buruk karena mereka kurang terlatih, senjatanya
tidak lengkap, dan gajinya sangat minim, banyak tentara yang sakit, desersi.
Alasan mereka meninggalkan induk pasukannya karena merasa rindu dengan anak dan
isterinya. Mereka dibayar dengan gaji yang rendah, yang mengakibatkan
menurunnya semangat juang mereka. Pasukan di Batavia dan Batavia
ommelanden dipusatkan di Batavia. Sementara itu, pasukan di Jawa bagian timur
dipusatkan di Surabaya. Adapun Jumlah tentara seperti tercantum dalam
tabel berikut.
Jumlah tentara di Hindia Timur menjelang dan sesudah
bubarnya VOC
Tahun
|
Jumlah Tentara
|
Keterangan
|
1771
|
2.372
|
|
1793
|
434
|
|
1797
|
516
|
|
1802
|
2.020
|
Tentara
yang berada dibawah pimpinan Jenderal de Gosson dikembalikan ke Isle de
France.
|
1803
|
1.098
|
Penambahan
tentara Eropa sebanyak 216 orang di bawah Letnan Kolonel Jauffret.
|
1804
|
1.132
|
Sebanyak
775 tentara diambil dari tentara di Isle de France yang dibawa oleh
Laksamana De Mist.
|
1808
|
3.496
Eropa8.347 pribumi
|
Saat serah
terima jabatan Gubernur Jenderal dari Wiesse kepada Daendels.
|
1811
|
2.430
Eropa1.506 Ambon13.838 pribumi
|
Laporan
Brigadir GH v Gutzlaff, 11 Mei 1811.
|
Data diolah dari majalah Tijdschrift voor Indie
terbitan tahun 1879 dari artikel “De Asiatische Bezittingenonder Koning
Lodewijk,halaman 437.
Selama
perang terjadi, tidak ada tentara Eropa yang menerima gaji secara tetap.
Namun demikian, menurut laporan komandan Brigadir Sandel Roy kepada pemerintah
di Batavia, pada tahun 1802, jumlah anggota militer di garnizun Batavia, Jawa
dan Makasar tidak lebih dari 2.020 orang Belanda, yang dua pertiganya harus
dianggap tidak berguna. Meskipun ada penambahan tentara, pasukan darat Eropa di
Hindia Timur masih lemah dan kondisinya semakin lama semakin lemah. Senjata api
dilaporkan hampir seluruhnya rusak dan tidak dapat digunakan akibat terkena
korosi. Meriam tembaga juga masih tersedia dalam jumlah besar, namun kalibernya
sudah tidak cocok untuk digunakan sebagai meriam pantai karena daya jangkaunya
yang rendah.[19]
Setelah dilantik menjadi Gubernur Jenderal pada 14 Januari 1808, Daendels
melakukan pemeriksaan terhadap pasukannya di Hindia Timur, dengan hasil sebagai
berikut:
- Sisa Resimen Wurtemberg, yang dikirim dari Eropa pada tahun 1788, ditambah dengan pasukan yang berasal dari Tanjung Harapan yang dipimpin oleh Laksamana Sonrey, yang langsung kembali ke Belanda setelah mendaratkan pasukannya di Jawa;
- Serdadu dan kelasi armada yang ditinggalkan oleh Laksamana Hartsinck, disebut sebagai Resimen Zeeuw;
- Sisa serdadu yang pernah berdinas dalam dinas militer VOC;
- Kesatuan cadangan yang terdiri atas orang pribumi Jawa atau Madura sebagai kekuatan milisi.
Seluruh
kesatuan ini dipimpin oleh Panglima Brigadir Jenderal Simon de Sandel Roy. Ia
memimpin pasukan Eropa dan pribumi. Sementara itu Batalyon infanteri XII
Prancis di bawah komandan Letnan Kolonel Jauffret, yang terdiri atas 5 kompi
dan 21 perwira. Setengah brigade infanteri nasional di bawah komando Kolonel
Charles Etien Vangin yang terdiri atas 11 kompi dengan 68 perwira. Terdapat
satu batalyon empat kompi berada di bawah komando Letnan Kolonel Carel Frederik
Gaupp; Satu batalyon tiga kompi berada di bawah komando Letnan Kolonel
Nic. Dom Cher le Grevisse, satu batayon empat kompi berada di bawah komando
Mayor Joseph de Lort. Batalyon Infanteri III Republik Bataf berada di
bawah komando Letnan Kolonel Abraham Mathieu yang terdiri atas 9 kompi dengan
33 perwira. Satu batalyon pemburu terdiri atas 2 kompi dengan 21 perwira berada
di bawah komando Mayor Rene François Auguste le Motte Bertin. Korps kavaleri
pengawal Gubernur Jenderal di bawah komando Letnan Kolonel George Heinrich von
Gutzlaff terdiri atas 3 kompi dengan 16 perwira yang semuanya berjumlah 362
tentara. Satu korps artileri di bawah komando Kolonel Korps Louis Auguste
d’Omarcey d’Omois yang merupakan pasukan zeni berjumlah 7 kompi dan 63 perwira
yang sebagian besar sudah dibubarkan pada akhir tahun 1807. Korps pertahanan
sipil berada di bawah komando Andries van Braam dengan 23 perwira yang
bersama-sama dengan pasukan garnizun menempati pos di Weltevreden, Meester
Cornelis, Tanjungpura, Tangerang, Buitenzorg, Kwal dan Angke.
Sementara itu di beberapa wilayah juga terdapat beberapa kesatuan seperti di
Semarang yang meliputi Bangkalan, Pasuruan dan Banyuwangi; Cirebon, dan Banten
yang masing-masing memiliki satu korps infanteri dan artileri. Sementara itu,
pasukan yang ditempatkan di dua pusat kerajaan Sunda (Cirebon dan Banten)
dianggap sangat lemah. Dari jumlah yang ada, diketahui tidak lebih dari
1/3 nya dianggap tidak layak untuk bertempur.
Daendels melihat bahwa kualitas pasukan tidak memungkinkan untuk menghadapi
serbuan Inggris. Ia menyadari bahwa jumlah pasukan tidak memadai dan
tidak mencukupi. Langkah pertama yang ia lakukan adalah mengganti para
panglimanya. Tanpa menyingkirkan para komandannya, tidak mungkin
reorganisasi militer dilakukan. Brigadir de Sansel de Roy digantikan oleh
Kepala Staf umum, Kolonel Alberti, yang kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi
Brigadir Jenderal.
Langkah kedua yang diambil oleh Daendels adalah melakukan pembenahan
pasukan. Keputusan pertama yang berpengaruh pada bidang militer adalah
keputusan tanggal 14 Januari 1808. Keputusan yang dianggap peraturan ini dibuat
untuk membenahi wilayah Ujung Timur Jawa (Java oosthoek), khususnya komando
yang harus diterapkan di sana. Komandan wilayah Ujung Timur diberi wewenang
untuk memobilisasi pasukan dan mendapatkan dukungan dari pemerintahan sipil
yang ada di sana apabila diperlukan;
Keputusan tanggal 7 maret 1808 berisi tentang penetapan jumlah pasukan yang
layak untuk mempertahankan pulau Jawa, yaitu sebanyak 19.316 tentara. Bagi
Daendels, luar Jawa tidak begitu penting dan tidak perlu dipertahankan
mengingat ketiadaan sarana dan prasaranya. Hanya wilayah yang memiliki
makna bagi militer saja yang dipertahankan seperti Ternate dan Palembang
yang harus dipertahankan. Untuk memudahkan pengendalian atas pulau Jawa,
ia membagi pertahanan pulau Jawa menjadi tiga daerah masing-masing dengan
kekuatan pasukan tempur masing-masing sebanyak satu batalyon. Daerah militer
pertama adalah ibukota Batavia dan sekitarnya (Batavia Ommelanden), yang berada
di bawah komando Brigadir Jenderal Guslaw von Lutzow. Wilayah kedua adalah
wilayah Jawa Tengah di bawah komando Brigadir Jenderal von Winkelman dengan
menampati markas di Semarang, yang sekaligus membawahi garnizun di vorstenlanden.
Sementara itu wilayah ketiga, yakni wilayah Jawa Timur berada di bawah komando
Brigadir Jenderal von Motman yang berkedudukan di Surabaya, yang membawahi
Madura dan Ujung Timur pulau Jawa. Sebagai koordinator dari ketiga wilayah ini,
Daendels menunjuk Brigadir Jenderal Hendrik Marcus de Kock yang menjabat
sebagai Kepala Staf Umum. Sementara itu kesatuan Wurtemberg yang terdiri
atas orang Eropa bukan Belanda digabungkan dengan kesatuan tentara Hindia Timur
(Nederlandsche Oost Indie Leger).[20]
Langkah lainnya yang diambil oleh Daendels adalah meningkatkan jumlah
pasukan di Jawa. [21] Mengingat tidak memungkinkan
untuk mendatangkan pasukan Eropa ke Jawa, ia merekrut orang pribumi untuk
dijadikan pasukan Belanda di Hindia Timur. Seperti telah dilaporkan oleh
Daendels kepada Kaisar Napoléon, bahwa Daendels telah berhasil
merekrut sebanyak 13.838 tentara pribumi yang disebut sebagai Pasukan
Jayengsekar. Pasukan ini ditempatkan di beberapa prefektur dan kabupaten yang
berada di Jawa. Pembentukan pasukan pribumi ini bersamaan dengan dilakukannya
reorganisasi pemerintahan di Pantai Timur Laut Jawa (Noord-Oostkust) dan
Ujung Timur Jawa (Oosthoek). Berdasarkan reorganisasi itu telah
ditetapkan jumlah tentara pribumi yang dibentuk di setiap prefektur, yang
masing-masing berjumlah antara 50 dan 100 orang, tergantung dari luasnya
wilayah.[22] Anggota pasukan ini dipilih
dari penduduk yang baik, terdiri atas orang-orang yang pandai dan cerdas.
Mereka akan dipimpin oleh perwiranya sendiri yang jumlahnya 3 orang untuk
setiap prefektur atau daerah komando. Perwira ini memiliki pangkat setara
bupati. Mereka ini dilengkapi dengan tanda-tanda kemiliteran secara khusus.
Kekuatan pasukan di Hindia Timur masih memperoleh tambahan dari pasukan
Mangkunegaran yang diberi nama Pasukan Prangwedono. Pasukan Prangwedono
terdiri atas 1.100 tentara yang berada di bawah Adipati Mangkunegoro yang
bermarkas di Surakarta. Pasukan ini dibentuk oleh Daendels menurut model
tentara Eropa, dibagi dalam satu batalyon infanteri yang terdiri atas empat
kompi, ditambah dengan 2 kompi pemburu, 2 pasukan artileri berkuda, dan 2
skuadron kavaleri. Pasukan Prangwedono ini langsung berada di bawah
komando Gubernur Jenderal di Batavia.
Tenaga pribumi ini semula didatangkan dari luar Jawa yang terdiri atas orang
Ternate, Ambon, dan tenaga lain dari luar Jawa. Setelah dilatih, mereka
ditempatkan di masing-masing daerah sebagai pasukan pengamanan kota (garnizun).
Reaksi terjadi dari masing-masing wilayah. Terjadi perlawanan di Tondano ketika
ia merekrut 3.000 orang untuk dibawa ke Jawa. Dari raja-raja pribumi, Daendels
kurang mendapatkan pasukan yang dapat diandalkan, karena mayoritas dari
kerajaan di Jawa menentang kebijakannya. Selain itu, kesatuan pribumi lainnya
yang ia rekrut adalah barisan Madura. Pasukan ini dipersembahkan oleh raja
Madura dan Panembahan Sumenep. Jasa barisan Madura telah teruji tatkala Nicolas
Engelhard menyelesaikan pemberontakan rakyat Cirebon dan mengusir armada
Inggris yang telah mendarat di Marunda.
Berdasarkan laporan staffnya dan berdasarkan anilisis yang dibuatnya, Daendels
yakin bahwa Inggris dengan meriam jarak jauhnya memiliki kelemahan. Armada
Inggris akan berjaya apabila dilakukan perang laut di pantai-pantai terbuka.
Oleh karena itu, apabila Inggris menyerang Jawa, Daendels akan memaksanya untuk
bertempur di laut yang sempit. Oleh karena itu, Daendels memusatkan pertahan di
selat-selat sempit di sekitar pulau Jawa, antara lain selat Sunda, selat
Madura, dan selat Bali. Daendels yakin bahwa Inggris tidak akan mencapai selat
Bali karena jaraknya yang terlalu jauh. Oleh karena itu, konsentrasi Daendels
ditujukan pada selat Sunda dan selat Madura. Oleh karena itu, apabila Inggris
menyerang Jawa, peperangan harus diarahkan di selat-selat itu, dengan sistem
peperangan jarak dekat, agar mudah dihancurkan dengan menggunakan meriam-meriam
yang dimiliki oleh pemerintah Hindia Timur.
Untuk menunjang sistem pertahanannya, Daendels membuat pabrik senjata yang
tugasnya antara lain memperbaiki persenjataan pasukan dan memodifikasi
meriam-meriam yang ada. Meriam yang ada di Surabaya dan Batavia berasal
dari meriam kapal yang tidak digunakan lagi. Selain memodifikasi meriam yang
ada, ia juga menginstruksikan untuk membuat meriam yang jauh lebih besar
kalibernya, dengan harapan dapat menjangkau jarak yang lebih jauh. Dengan
kemampuan tembaknya yang besar, meriam ini akan mampu menghancurkan musuh
di barisan depan yang berguna bagi pasukan kavaleri dan infanteri untuk terus
bergerak maju menghancurkan musuh.
Dengan kekuatan artileri yang besar, Daendels mengharapkan dapat meningkatkan
kekuatan tempurnya. Untuk merealisasikan idenya, pada 13 Februari 1808 ia
membentuk satu korps artileri yang terdiri atas 2.716 tentara di bawah komando
kolonel von Gutzlaw. Kesatuan ini terdiri atas tiga batalyon dan enam kompi
yang terdiri atas pasukan infanteri dan kavaleri. Mereka beranggotakan tidak
hanya orang Belanda, tetapi anggota pasukan Wurtemberg dan pasukan
cadangan termasuk tenaga pengangkut meriam dan perlengkapannya. Selain itu
disiapkan 176 ekor kuda yang mampu menarik meriam besar. Daendels juga
memerintahkan untuk membangun bengkel artileri untuk memperbaiki meriam-meriam
yang mengalami kerusakan ketika diselamatkan dari Isle de France dan Tanjung
Harapan, agar dapat dimanfaatkan kembali. Tenaga teknisi terdiri dari
tenaga-tenaga VOC yang pernah bekerja pada bengkel persenjataan di pulau
Onrust. Industri artileri ini akhirnya ditetapkan didirikan di Surabaya. [23]Pertimbangan lain industri
artileri didirikan di Surabaya, karena dekat dengan daerah produksi salpeter
yang merupakan bahan dasar pembuatan amunisi dan peluru. Ternyata
pembangunan industri artileri di Surabaya belum dianggap cukup oleh
Daendels. Ia menetapkan untuk membangun pabrik pembuatan peluru di
Semarang. Pendirian pabrik peluru di Semarang dengan pertimbangan bahwa gudang
mesiu dapat ditempatkan di benteng-benteng di pedalaman.[24] Kegiatan bongkar muat barang
dapat dilakukan di pelabuhan sehingga dapat menjangkau hampir seluruh wilayah
di pulau Jawa. Produk yang dihasilkan dari pabrik di semarang ini, selain
peluru, juga membuat granat dan peluru meriam.
Untuk menampung hasil produksinya, Daendels memerintahkan untuk membangun
gudang-gudang amunisi di Surabaya, Salatiga, Meester Cornelis. Surabaya dan
Meester Cornelis digunakan untuk mendukung garis besar pertahanan di
Jawa. Salatiga dipilih dengan pertimbangan bahwa Salatiga relatif dekat dengan
pertahanan di Jawa Tengah dan dekat dengan benteng-benteng yang didirikan
di Vorstenlanden.
Di samping perlengkapan tempur, kebutuhan lain yang dianggap perlu untuk
ditingkatkan oleh Daendels adalah peralatan dan hewan penarik senjata.
Peralatan transportasi seperti pedati, kotak-kotak pengangkut senjata, tandu,
gerobag dibuat dengan memanfaatkan tukang-tukang pribumi. Material untuk
keperluan itu dibuat dari kayu yang didatangkan dari wilayah Rembang, Blora,
Tuban dan Lamongan. Sementara itu, untuk hewan, khususnya kuda, didatangkan
dari Bali dan Sumbawa. Mengingat bahwa lalu lintas impor kuda ini untuk
kepentingan militer, maka penyediannya dikontrol oleh dinas militer.
Fasilitas komunikasi lainnya adalah membangun jalan dan menghubungkan
jalan-jalan yang sudah lama ada. Di samping itu, diperlukan mekanisme yang
mengatur pemeliharaan jalan dan jembatan. Kepala Kantor pertahanan
Semarang Schultze menulis surat kepada Daendels pada bulan Februari 1809 yang
mengeluhkan kondisi sejumlah jembatan yang tidak dapat dilalui oleh kereta
pengangkut personil dan peralatan. Daendels setelah memantau di lapangan
memerintahkan Kolonel Gordon dari dinas Zeni untuk menghubungi para bupati
setempat. Mereka diminta untuk mengerahkan tenaga kerja wajib sebagai pekerja
kasar untuk melakukan perbaikan fasilitas tersebut.
- Penutup
Hindia
Timur, khususnya Jawa, dianggap sangat penting bagi Prancis. Napoléon Bonaparte
telah mengirimkan beberapa pasukannya yang tergabung dalam Divisi XII. Jawa
dianggap penting bagi Prancis karena kekayaan hasil komoditi Ekspor, posisi
geografisnya, dan potensi penduduknya. Hasil komoditi ekspor yang berupa kopi,
gula dan padi, di samping kayu jati merupakan komoditi yang sangat laku di
pasaran internasional. Instruksi yang diberikan oleh Napoléon Bonaparte kepada
Gubernur Jenderal Daendels sesaat sebebelum meninggalkan istana Tuillerie
adalah membenahi sistem administrasi pemerintahan di Hindia Timur agar
memberikan manfaat kepada negara induk di Eropa. Napoléon Bonaparte
menganggap penting pulau Jawa karena posisi geografisnya. Napoléon akan menjadikan
Jawa sebagai pangkalan utama Prancis dalam rangka rencana penyerangan Prancis
ke India, yang dikatakan sebagai wilayah yang kekayaannya melebihi semua
kekayaan semua negara di Eropa. Selain itu, penduduk Jawa memiliki kekuatan
fisik yang tidak kalah kuatnya dengan tentara Sepoy dari India.
Oleh karena itu, Napoléon Bonaparte mengingatkan agar pulau Jawa diperkuat.
Kaisar menegaskan bahwa Batavia harus diperkuat, karena Inggris sewaktu-waktu
akan menyerang Jawa. Ia mengingatkan bahwa kemungkinan besar Inggris akan
mendaratkan pasukannya dari Cilincing yang jaraknya kira-kira 2 lieux (l
lieu=4 km) dari pusat pemerintahan di Batavia. Pasukan yang dikirimkan
ke Jawa melaporkannya bahwa Batavia tidak memiliki pertahanan apa pun,
sehingga apabila tidak diperkuat, Batavia akan segera jatuh apabila diserang
oleh Inggris.
Oleh karena itu, beberapa tentara dikirimkan ke Jawa melalui Isle de France dan
Port Louis. Jumlah tentara yang ideal yang seharusnya ditempatkan di Jawa
menurut Napoléon Bonaparte berjumlah 20.000 orang. Oleh karena itu, pada saat
Daendels dikirimkan ke Jawa untuk menduduki jabatannya sebagai gubernur
jenderal, ia harus segera melakukan reorganisasi dan memobilisir tentara
yang berjumlah mendekati jumlah yang diinginkan oleh Kaisar. Untuk itu, pada
bulan Mei 1811, Kepala Staf angkatan darat von Gutzlaff melaporkan jumlah
tentara yang berhasil dimobilisir oleh Daendels.
- 5. Daftar Pustaka
Anonim,
1879. “De Asiatische Bezittingenonder Koning Lodewijk, dalam
Tijdschrift voor Indie 1879.
Anonim. “Een
kritiek over de Indische leger organisatie en het legerberker van Daendels”
dalam Indische Militaire Tijdschrift, tahun 1878.
Bonaventura,
M. 1905. De Bonapartes, Nijmegen, L.C.G. Malmberg.
Brugmans, H.
1815. Van Republiek tot Koninkrijk: Geschiedenis der Nederlanden 1795—1815. Amsterdam:
Scheltens @ Giltay.
Daendels,
Herman Willem. 1814. Staats der Nederlndsche Oostindische Bezittingen onder
het Bestuur van de Gouverneur-General Herman Willem Daendels, Ridder,
Luitenant-Generaal in de Jaaren 1808—1811. ‘s Gravenhage.
Deventer,
S.van. 1865. Rapport van Hopkins omtrent het Grondbezit in Besoeki,
Panaroekan en Probolinggo.
Faber, Von.
1931. Oud Soerabaia, Uitgegeven door de gemeente Soerabaia ter
gelegenheid van haar zilveren jubileum op 1 April 1931. Batavia.
Hageman,
Jcz, J. 1860. ”Geschiedenis van het Bataafsche en Hollandsch Gouvernement
op Java 1802—1810”, dalam TBG, Vol. IV, Batavia:
Lange&co.
Hageman, J.
1855. ‘Geschiedenis van het Hollandsch Gouvernement op Java 1802—1810’, dalam Tijdschrift
van Bataviaasche Genootschap voor Indische Taal, Laand en Volkenkunde.
Jilid IV
Locher-Scholten,
Elisabeth dan Peter Rietbergen (Eds).2004. Fof en Handel: Aziatische
Vorsten en de VOC 1620—1720. Leiden: KITLV Uitgeverij.
Marihandono,
Djoko. 2005. Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan Herman Willem Daendels di
Jawa 1808—1811: Penerapan Instruksi Napoléon Bonaparte. Disertasi
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.
Milza,
Pierre, Serge Berstein dan JL Monneron. 1978. Histoire de la Révolution au
Monde d’Aujourd’hui. Paris: Fernand Nathan.
Price, JC
Powel. 1955. A history of India. London: Thomas Nelson&Sons Ltd
Romier,
Lucien. 1948. L’Ancienne France: des origines à la révolution. Paris:
Librairie Hachette
Schama.
Simon. 1989. Patrioten en Bevrijders: Revolutie in de Noordelijke
Nederlanden, 1780—1813. Amsterdam: Agon.
Stapel. FW.
1940. Geshiedenis van nederlandsche Indie. Jilid V. Amsterdam:
Uitgevers-maatschapij.
Vries, Theun
de. 1941. Jan Rutgers Schimmelpenninck. Den Haag: HP. Leopold
Uitgevrij.
Williamson,
James A. 1962. The British Empire and Commenwealth. London:
McMillan.
[1] Makalah ini disajikan pada
acara Konferensi Nasional Sejarah IX yang diselenggarakan pada 5-8 Juli 2011 di
Jakarta.
[2] Penulis adalah pengajar
sejarah pada Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia.
[3] Sebelum mengangkat Louis,
Napoleon telah menawarkan kepada lima orang utusan Belanda tentang jabatan Stadhouder
bagi Louis sebagai pengganti Schimmelpenninck. Namun utusan Belanda menolaknya
dan dengan traktat baru, konstitusi dibuat yang merubah bentuk republik menjadi
kerajaan. Berdasarkan traktat itu konstitusi baru dibuat yang mengesahkan
kedudukan Louis sebagai raja. M. Bonaventura, De Bonapartes, Nijmegen,
L.C.G. Malmberg, 1905, halaman 300
[4] Sebelumnya telah dilakukan
kesepakatan antara Napoléon dan adiknya Louis di istana Rembouillet tanggal 16
Maret 1810, yang intinya pentingnya wilayah Belanda bagi Prancis dan
konsekuensi yang akan diterima oleh Louis apabila membiarkan armada
Inggris mendarat di Belanda.
[5] Sejak saat ini semua hukum
Prancis diberlakukan di Belanda. Wilayah Belanda langsung dibawah
kekuasaan Napoléon Bonaparte. Sistem pemerintahan yang ada menggunakan sistem
pemerintahan Prancis. (H. Brugmans, Van Republiek tot Koninkrijk:
Geschiedenis der Nederlanden 1795—1815, Amsterdam,
Scheltens&Giltay, halaman 146).
[6] Lucien Romier, L’Ancienne
France: des origines à la révolution(Paris, 1948, Librairie Hachette),
halaman 279. Compagnie des Indes dibentuk oleh Raja Louis XV, yang
memiliki mayoritas saham dan menjadi investor utama dalam pembentukan kongsi
dagang ini.
[7] Lihat JC Powell Price, A
history of India (London, 1955, Thomas Nelson&Sons Ltd, halaman 400.
[8] James A. Williamson, The
British Empire and Commenwealth (London, 1962, McMillan, halaman 74).
[9]Wilayah Administrasi Pantai
Timur Laut Jawa dibubarkan pada masa pemerintahan Daendels, berdasarkan
instruksi Gubernur Jenderal tanggal 17 Mei 1808. Gubenur Pantai Timur
Laut Jawa saat itu dijabat oleh Nicolas Engelhard. Ia dicopot dari jabatannya
oleh Daendels dan wilayahnya digabungkan dengan wilayah Batavia yang berada di bawah
tanggung jawab gubernur jenderal (Stapel 1940:38-39). Penghapusan wilayah ini
disetujui oleh Menteri Perdagangan dan Koloni Van der Heim yang menyatakan
bahwa Nicolas Engelhard telah memperlambat tugas-tugas Gubernur Jenderal.
Sementara berdasarkan alasan Gubernur Jenderal membubarkan wilayah
administratif ini karena lahannya sangat luas, bantuan keuangan diberikan
ke wilayah ini sebesar 700.000 ringgit, tetapi uang yang disetorkan kembali
kepada pemerintah sangat kecil, sehingga dianggap tidak efektif lagi.
[10] Baca Theun de Vries, Rutger
Jan Schimmelpenninck (Amsterdam, 1941, Lepolod Uitgeverij), halaman 2.
[11] Baca J. Hageman, ibid,
halaman 167.
[12] Lihat Elisabeth
Locher-Scholten dan Peter Rietbergen (Eds).Fof en Handel: Aziatische
Vorsten en de VOC 1620—1720 (Leiden, 2004, KITLV Uitgeverij), halaman 8.
[13]Lihat Stapel
(1940:15—16).
[14]Dekker akhirnya melanjutkan
perjalanannya kembali ke Belanda dengan menggunakan kapal swasta melalui
Lisabon. Sesampainya di Belanda, ia ditangkap, kemudian diadili di Mahkamah
Tinggi Militer dan dijatuhi hukuman mati. (Stapel:1940;22—23).
[15]Sebanyak delapan kapal yang
berada di Batavia adalah armada Hartsinck. Bersama dengan hancurnya kapal-kapal
ini juga dihancurkan beberapa kapal dagang lainnya. (Stappel, 1940:24).
[16]Akibat dari patroli laut yang
dilakukan oleh armada Pellew, pulau Jawa telah dikepung oleh armada Inggris.
Pelabuhan Batavia tidak terlindungi, karena tidak adanya kapal perang di
pelabuhan itu. Sisa beberapa armada Hartsinck berada di pelabuhan Gresik, dan
tidak memungkinkan digerakkan ke Batavia untuk melindungi Pelabuhan Batavia
(Stapel:1940:26). Kapal yang ada di Gresik yakni Pluto dan Revolutie.
Di pelabuhan ini juga sedang bersandar kapal Koortenaar dengan
kekuatan 60 meriam, Bustaff dengan kekuatan 40 meriam (Von Faber: Oud
Soerabaia, 1931: 30).
[17]Laksamana Pellew muncul dengan
8 buah kapal, yakni Culloden, Powerfull, Fox, Corlyn, Semarang, Victor,
Seaflower dan Diana. (Stapel, 1940:26-28).
[18]Ada lima kesepakatan antara
penguasa militer Surabaya dan armada Laksamana Pellew, yakni: inggris akan
meninggalkan Gresik dan Surabaya; kapal Belanda yang rusak harus segera
dibakar; pembongkaran pertahanan pantai di Madura; orang Belanda harus
memasok air minum gratis kepada awak armada Inggris; dan pemerintah belanda di
Surabaya harus mengizinkan pedagang daging untuk menjual dagangannya kepada
Inggris.
[19]Gubernur Jenderal Wiese pada
tanggal 23 Juli 1805 melakukan inspeksi ke gudang senjata. Melihat apa yang ada
di gudang, ia kemudian menulis surat kepada pemerintahan Republik Bataf
mengenai kemungkinan sulitnya mempertahankan wilayah koloni mereka di Asia
(Lihat dalam Tijdschrift voor Indie terbitan tahun 1879, halaman 443).
[20]Hal ini mebuktikan bahwa
Daendels mempercayakan pertahan Jawa kepada pasukan Wurtemberg sebagai
kekuatan intinya. Keyakinan ini nantinya akan mempengaruhi karir Daendels
setelah bertugas dari hindia Timur. Oleh napoléon Bonaparte, Daendels diberi
tugas untuk memimpin tentara cadangan Wurtenberg dalam rangka penyerangan
napoléon Bonaparte ke Rusia pada tahun 1812.
[21]Anonim. “Een kritiek over de
Indische leger organisatie en het legerberker van Daendels” dalam Indische
Militaire Tijdschrift, tahun 1878, halaman 270.
[22] Disebutkan bahwa di
Prefektur Tegal dibentuk 80 orang, Pekalongan 50 orang, Semarang 100
orang, Jepara 100 orang, Rembang 50 orang, Gresik 50 orang, Surabaya 80 orang,
Pasuruan 100 orang dan Sumenep 100 orang. (pasal 25 Ordonantie den 18
Augustus 1808)
[23]G. Von Faber, 1935.”op.cit.”,
halaman 26.
[24] HW Daendels, 1814. Op.cit.
Harga mesiu dianggarkan 15 ringgit per pikul. Budget ini dimasukkan dalam
anggaran militer.
- Comments Leave a Comment
- Categories Uncategorized
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI HINDIA TIMUR[1]
Djoko Marihandono[2]
- 1. Pendahuluan
Istilah
Hindia Timur digunakan untuk menyebut wilayah koloni Belanda yang berada di
wilayah Asia. Istilah ini digunakan oleh orang Eropa, baik Inggris (East
Indie), Belanda (Oost Indie) maupun Prancis (Inde Orientale). Berdasarkan
laporan yang dibuat Daendels[3], sebelum kedatangannya ke
Jawa, wilayah Hindia Timur meliputi wilayah pulau Jawa, kepulauan Maluku,
Makassar di pulau Sulawesi, dan beberapa wilayah lain seperti Palembang di
pulau Sumatera, Banjarmasin di pulau Kalimantan dan sejumlah pulau lain seperti
Sumbawa, Bangka, Belitung, Timor dan Seram. Semua wilayah koloni ini berada di
bawah kekuasaan gubernur jenderal dan Dewan Hindia (Raad van Indie)
yang berkedudukan di Batavia. Sementara itu, wilayah Jawa, terbagi menjadi
empat wilayah administratif yakni Batavia, Kesultanan Cirebon, wilayah Pantai
Timur Laut Jawa (Noord-Oostkust), dan Ujung Timur pulau Jawa
(Oost-hoek).
Dalam laporan itu juga disampaikan bahwa Jawa terbagi atas:
- wilayah Batavia meliputi Distrik Batavia dan Pedalaman Batavia (Batavia Ommelanden), Jacatra dan Priangan, Tangerang, Karawang, Bogor (Buitenzorg), Tajur, Sumedang, Bandung dan Parakanmuncang. Wilayah Batavia dihuni oleh orang-orang swasta. Sebagian wilayah Kabupaten Jacatra dan Priangan berada di bawah wewenang Dewan Armada Batavia (Raad van Scheppen van Batavia), dan sebagian kecil lainnya di bawah Pejabat Urusan Pribumi (ambtenar). Pemerintahan sipil dan urusan keamanan di Batavia Ommelanden diserahkan kepada Drossard dan Perwakilan Urusan Pribumi (Gecommitterden tot en over de zaken van den Inlander).
- Kesultanan Cirebon dan tiga kabupaten Cirebon di daerah Priangan meliputi wilayah Kabupaten Limbangan, Sukapura, dan Galuh. Kerajaan Cirebon saat itu berada di bawah pemerintahan seorang Residen;
- Pantai Timur Laut Jawa (Noord-Oostkust) meiputi wilayah Kabupaten Semarang, Demak, Kendal dan kaliwungu (termasuk Keresidenan Tegal), Pekalongan, Jepara, Juwana dan Rembang. Pantai Timur Laut Jawa dipimpin oleh seorang gubernur yang berkedudukan di Semarang. Sementara itu wilayah Kendal, Pekalongan, Jepara, Juwana dan Rembang berada di bawah kekuasaan Gezaghebber.
- Wilayah Ujung Timur Jawa (Oost-hoek) mencakup Keresidenan Gresik, Pulau Madura dan Kangean, wilayah Pasuruan dan Banyuwangi, dan pulau Bawean. Wilayah Oost-hoek ini dipimpin oleh seorang pemegang kuasa (Gezaghebber).
Sementara
itu wilayah yang berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial ini berbatasan
dengan
a)
Barat: dengan kerajaan Banten;
b)
Selatan: dengan Vorstenlanden Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan
Surakarta;
c)
Timur: dengan Selat Bali;
d)
Utara: dengan laut Jawa.
- 2. Sistem Pemerintahan di Batavia
Semua
wilayah pemerintah kolonial di Hindia Timur berada di bawah pemerintahan
Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia (Raad van Indie). Gubernur Jenderal
dan Dewan Hindia disebut sebagai Pemerintahan Timggi (Hooge Regering).
Sampai pada pergantian pengelolaan wilayah Hindia Timur dari VOC kepada
pemerintah kolonial, susunan Dewan Hindia terdiri atas:
- Gubernur Jenderal;
- Direktur Jenderal;
- Lima anggota biasa
- Lima anggota Luar Biasa.
Kegiatan
anggota Pemerintahan Tinggi pada akhir kekuasaan VOC dinilai tidak lagi sesuai
dengan tugas utamanya. Direktur Jenderal yang seharusnya mengurus masalah
keuangan bersama dengan Gubernur Jenderal, bertindak sendiri tanpa
sepengetahuan Gubernur Jenderal. Pembelian yang dilakukan oleh pemerintah
selalu merugikan negara. Oleh karena itu, Dewan Hindia sering mendapatkan
serangan pada saat dilaksanakannya sidang Dewan Hindia, karena sering dianggap
menerima suap dan melakukan korupsi (Daendels, 1814: 5-6). Para pejabat di Hooge
Regering ini kebanyakan merangkap jabatan sebagai gubernur, residen atau
pun tugas-tugas yang kurang penting seperti penanggung jawab kompleks
pertukangan, dan kantor lelang.
Di Jawa, secara garis besar terdapat dua pemerintahan, yaitu pemerintahan
militer dan pemerintahan sipil. Pemerintahan militer tidak akan dibahas dalam
makalah ini. Sementara itu, pemerintahan sipil di Jawa terbagi dua, yaitu di
bawah pimpinan orang Eropa (Binnenlandsche Bestuur) dan orang
pribumi (Inlandsche Bestuur). Jabatan pemerintahan sipil yang
dijabat oleh orang Eropa antara lain: gubernur, gezaghebber, dan
residen. Di Jawa hanya ada satu gubernur, yaitu Gubernur Pantai Timur Laut Jawa[4] (gouverneur van Java), dan
satu Gezaghebber Ujung Timur Pulau Jawa.[5]
Jabatan bupati dipegang oleh orang-orang pribumi (inlandsche Bestuur). Para
bupati ini memiliki wilayah yang luas yang berada di bawah kekuasaan yang lebih
tinggi lagi, yaitu residen. Pada saat dilakukan pelantikan seorang bupati
yang baru, para pejabat Eropa ini hadir, di samping para pejabat bawahan
bupati, sanak keluarga dan undangan lainnya. Pada saat diambil sumpahnya, para
bupati ini harus menghadap kiblat. Setelah mengucapkan sumpah, bupati yang baru
maju beberapa langkah untuk menghadap residen, kemudian membungkukkan badannya.
Residen kemudian memberikan sambutan, yang disusul dengan sambutan bupati yang
baru yang berisi ucapan terima kasih kepada residen atas pengangkatan itu.
Setelah bupati selesai berpidato, bupati yang baru memohon izin kepada residen
untuk berpidato di depan bawahan bupati yang ikut hadir pada upacara itu.
Biasanya isi pidato itu adalah ajakan untuk bekerja secara bersungguh-sungguh
dan menunjukkan kesetiaan kepada atasan (Lubis, 1998:198). Dalam menjalankan
tugasnya, bupati dibantu oleh seorang jaksa, penghulu, bupati dalam dan bupati
luar. Pemerintahan atas daerah kecil-kecil dan desa yang agak besar diserahkan
kepada demang atau mantri besar. Mantri Besar membawahi mantri kecil atau lurah
yang memiliki kekuasaan yang amat terbatas di desa-desa kecil (Deventer,
1865:12).
Para bupati memiliki tingkatan yang dikategorikan berdasarkan gelar yang
dimilikinya. Di wilayah Pantai Timur Laut Jawa, terdapat tiga gelar bupati,
yaitu Adipati, Tumenggung, dan Ngabehi, tergantung keturunan gelar bangsawan
yang dimilikinya. Para bupati ini diangkat oleh gubenrnur atau
gezaghebber dengan membayar antara 10.000 sampai 20.000 piaster. Sementara
itu, para bupati ini akan menerima uang bekti dari aparat di bawahnya, yang
berupa sejumlah uang sebagai tanda kesetiaanya kepada residen dan bupati.
Pendapatan mereka tidak pasti, karena tidak ada pedoman tentang gajinya.
Pendapatan para bupati ini tergantung dari kemurahan hati residennya.
Sangat sering ditemukan seluruh desa beserta penduduknya diborongkan oleh
residen kepada orang Cina yang mampu menawar tinggi untuk mengeruk
keuntungan semaksimal mungkin (Daendels, op.cit. 42; Deventer, op.cit.
12-15).[6]
- 3. Sistem Administrasi Pemerintahan pada masa VOC
Sistem
administrasi pemerintahan di Jawa sangat lemah, sehingga sangat membahayakan
para pemimpin pemerintahan seperti gubernur jenderal, para residen, dan pejabat
tinggi Eropa lainnya. Karena kelemahan itu, kehormatan dan kepentingan negara
selalu dikorbankan. Kondisi moral pegawai menjadi rusak akibat sistem
administrasi yang selama ini berlaku di wilayah ini. Kondisi perekonomian
makin lama makin memburuk. Sehingga tidak mungkin hanya dilakukan dengan
perbaikan saja. Laporan yang dibuat oleh komisi yang berulang kali dikirim ke
Jawa termasuk di dalamnya laporan dari komandan Divisi XII Prancis yang
dikirim ke Jawa. Laporan itu juga diterima oleh Napoléon Bonaparte pada saat
menerima laporan dari komandan tentara Divisi XII yang baru saja menyelesaikan
tugasnya di Jawa. [7]
Pesan yang disampaikan oleh Napoléon Bonaparte kepada Daendels sebelum
berangkat ke pulau Jawa pasca dibubarkannya VOC, dikatakan bahwa para pejabat
di Hindia Timur memiliki sifat yang mudah menyerah karena rendahnya gaji yang
mereka terima. Kondisi ini mendorong para pejabat untuk mencari pendapatan
tidak sah di luar gaji yang diterimanya, dengan cara melegalkan perdagangan
gelap, memanipulasi bobot penyerahan komoditi ekspor, sampai pada penerimaan
kerja wajib yang menindas penduduk pribumi. Dengan demikian tidak ada
keuntungan sedikitpun yang bisa diterima oleh negara induk karena sudah habis
dikorup oleh pejabat di Hindia Timur.
Kebobrokan
administrasi pemerintahan dilakukan oleh semua oleh pejabat dari gubernur
jenderal sampai pejabat terendah. Masalah yang seharusnya menjadi pekerjaan
bagi pejabat di Pemerintahan Tinggi tidak pernah dilaksanakan karena gubernur
jenderal sebelumnya tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Apa
yang telah diinstruksikan oleh gubernur jenderal tidak pernah berhasil dan
tidak pernah menyentuh akar persoalan. Justru yang sangat menonjol adalah
upaya untuk memperjuangkan kepentingan pribadi. Bahkan tidak jarang
terjadi gubernur jenderal ditipu dengan persekongkolan yang dilakukan
oleh anggota dewan untuk melindungi kejahatan yang dilakukannya.
Oleh karena
itu, Napoléon Bonaparte memerintahkan kepada Raja Belanda Louis Napoléon saat
itu untuk mencari calon gubernur jenderal di Hindia Timur yang dapat menjaga
martabat Prancis. Untuk menjaga martabat Prancis di wilayah Hindia Timur,
Napoléon Bonaparte menegaskan bahwa ada dua hal pokok yang harus dilakukan oleh
gubernur jenderal di Hindia Timur, yakni: menertibkan sistem administrasi
negara dan membela pulau Jawa selama mungkin dari ancaman serangan Inggris.
Sebelum keberangkatannya ke pulau Jawa, Daendels menerima surat keputusan
pengangkatan dirinya menjadi gubernur jenderal pada tanggal 28 Januari 1807.
Dua tugas utama itu dijabarkan dalam 3 Instruksi Raja Belanda Louis kepada
Gubernur Jenderal yang baru. Ketiga instruksi itu adalah a) instruksi untuk
Gubernur Jenderal (37 pasal) , b)instruksi untuk Gubernur Jenderal dan Dewan
Hindia (25), serta c)Instruksi kepada Gubernur Jenderal untuk membubarkan
Pemerintahan Tinggi di Batavia (Haute Régences des Grandes Indes) (6
pasal). Ketiga instruksi ini diserahkan kepadanya pada tanggal 9 Februari 1807,
tatkala ia akan berangkat ke pulau Jawa. Mengingat besarnya tanggung
jawab yang harus dipikulnya, Raja Louis akhirnya menaikkan pangkatnya dari
Kolonel Jenderal menjadi Marsekal.[8]
Sebagai seorang pemimpin patriot yang mengagumi Revolusi Prancis dan Napoléon
Bonaparte, Daendels menginginkan untuk menjalankan apa yang sudah digariskan
dalam instruksi yang diberikan oleh Raja Louis kepadanya.
- 4. Upaya Daendels dalam Memberantas Korupsi
Setelah
menempuh perjalanan selama 10 bulan, Daendels mendarat di Anyer pada tanggal 1
Januari 1808. Ia melanjutkan perjalanannya melalui jalan darat ke Batavia untuk
menemui Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese. Setelah menempuh perjalanan
selama 3 hari, pada tanggal 4 Januari 1801 ia disambut oleh komandan militer Serang
PP Dupuij di Tangerang, langsung menemui Gubernur Jenderal Wiese pada tanggal
itu juga.
Pada tanggal 14 Januari 1808, ia menerima kekuasaan dari Gubernur Jenderal
Albertus Henricus Wiese. Sebagai Gubernur Jenderal yang diangkat oleh Raja Belanda
Louis dan direstui oleh Napoléon Bonaparte, Daendels menginginkan untuk segera
membentuk pemerintahan yang bersih dengan memerangi ketidakefisienan dalam
pemerintahan. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa informasi yang ia
peroleh baik selama di Belanda, di Prancis, maupun selama dalam perjalanannya
(baca di Madrid), ternyata semuanya benar. Banyak pejabat Eropa yang melakukan
korupsi dengan membuat tugas mereka menjadi tidak efisien. Untuk melaksanakan
salah satu dari tugas utamanya, Daendels melakukan beberapa langkah, antara
lain:
- a. Larangan bagi Semua Pegawai Pemerintah untuk Berdagang
Sebagai
Gubernur Jenderal yang baru, yang mengetahui benar kondisi birokrat di Hindia
Timur. Daendels melakukan langkah yang didukung oleh semua pegawai pemerintah,
yaitu menaikkan gaji semua pegawai pemerintah. Dia yakin bahwa korupsi terjadi
karena rendahnya gaji yang mereka terima, sehingga semua hal yang berkaitan
dengan uang pasti akan mereka dahulukan. Menaikkan gaji semua pegawai pemerintah
memerlukan persetujuan dari Dewan Hindia. Sebagai ketua Dewan Hindia,
Daendels menetapkan standar baru penggajian dari yang paling rendah hingga
paling atas. Daendels membuat pembagian dengan sistem eselonisasi,
sehingga aturannya menjadi lebih jelas, dengan hak dan kewajiban mereka.
Sebelumnya, hanya pejabat Eropa saja yang menerima gaji, sementara pejabat
pribumi hanya menerima tanah sebagai pengganti gajinya. Dalam aturan yang
baru ini, Daendels memutuskan untuk memberikan gaji setiap bulan secara
teratur, termasuk kepada para bupati dan pembantunya.
Berdasarkan Plakaat Boek (Chijs, 1895), sebagai konsekuensi dari
pemberian gaji kepada semua pegawai pemerintah, ia mewajibkan semua pegawai
pemerintah untuk ikut secara aktif menjual hasil produksi pertanian yang
merupakan komoditas eksport. Dia meminta kepada semua pegawai untuk
bekerja keras dan berupaya demi kejayaan Raja Louis dan Kaisar Napoléon.
Dia meminta kepada semua pedagang, baik pedagang Cina, Arab, Amerika maupun
pedagang Eropa untuk membeli produk komoditi yang jumlahnya malimpah ruah ini.
Dengan lakunya barang komoditas ekspor, maka pemerintah akan memperoleh
uang yang dapat digunakan untuk membayar gaji pegawai pemerintah, sehingga
mereka tidak perlu lagi untuk memperkaya diri sendiri. Pemerintah akan
menghukum siapa saja yang melanggar perintah ini.
- b. Larangan Menerima atau Mengirim Parsel dan Paket
Tidak lama
setelah ia menjabat sebagai Gubernur Jenderal, Daendels memanggil Gubernur
Pantai Timur Laut Jawa Nicolas Engelhard untuk mendengarkan
pertanggungjawabannya sebagai gubernur di wilayah Pantai Timur Laut Jawa. Ia
memperoleh laporan bahwa para bupati berkewajiban untuk menyetorkan uang
pengakuan (uang bekti) kepada gubernur. Ia melarang untuk memberikan
uang pengakuan ataupun parsel, upeti, karena menurut Gubernur Jenderal, hal itu
merupakan korupsi pasif. Para pejabat yang menerimanya akan merasa terganggu,
sehingga mengorbankan kepentingan negara.
Dengan dinaikkannya gaji pegawai pemerintah, maka Gubernur Jenderal melarang
semua pegawai pemerintah untuk menerima segala macam hadiah kepada atasannya.
Daendels memahami bahwa semua pejabat pemerintah menerima berbagai macam hadiah
berdasarkan peraturan yang dikeluarkan pada tahun 1743 dan 1797. Untuk
menjaga kepentingan negara dan pemerintah, ia mencabut kedua peraturan itu.
Keputusannya itu dikuatkan dengan dikeluarkannya peraturan tanggal 9 Februari
1808 oleh Dewan Hindia. Dengan dikeluarkannya peraturan itu, maka penerimaan hadiah
dianggap pelanggaran. Apabila hal itu diketahui oleh pemerintah, maka pelakunya
akan dihukum. Namun, apabila orang yang akan memberikan hadiah tidak dapat
dicegah, maka hadiah itu harus diserahkan kepada negara.
Daendels memahami benar bahwa banyak di antara pegawai pemerintah yang tidak
paham atau pura-pura tidak paham dengan peraturan baru itu. Maka untuk
mempertegas, ia memerintahkan untuk mengeluarkan aturan itu dalam beberapa
bahasa, sehingga tidak ada lagi alasan, mereka tidak memahami peraturan baru
ini.
- c. Ketepatan Berat dan Harga Komoditi Dagang
Daendels
memahami benar bahwa tidak ada ukuran standar tentang penyerahan hasil komoditi
dagang kepada pemerintah. Ia mengetahui bahwa banyak pegawai pemerintah yang
mengambil keuntungan dari kesempatan ini, khususnya untuk komoditi dagang lada
dan kopi, yang pada saat itu sangat laku di pasaran dunia. Untuk menghindari
kondisi seperti itu, ia mengeluarkan beberapa aturan untuk mengatasi korupsi di
sektor ini.
Tanggal 1 Juni 1808, dikeluarkan peraturan kepada gezaghebber dan
para residen yang melarang mereka menjadi agen komoditi dagang. Hal ini
dilakukan karena Daendels menemukan manipulasi bobot komoditi hasil bumi kopi,
gula, dan padi yang dilakukan oleh para pejabat. Di salah satu kabupaten
di Priangan misalnya, petani menyerahkan kepada bupati sepikul kopi dengan
bobot 250 pon. Para bupati menyerahkannya kepada pejabat Eropa dengan bobot 140
pon sepikulnya. Selanjutnya oleh pejabat Eropa, diserahkan kepada negara kurang
dari 120 pon per pikulnya. Kelebihan bobot ini menjadi keuntungan pribadi para
pejabat itu, di samping 2 ringgit uang kertas yang diterimanya sebagai upah
setiap pikulnya. Langkah ketiga yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal adalah
menetapkan berat bobot standar per pikul untuk setiap komoditi hasil bumi ini,
yakni 120 pon. Keputusan ini mengakhiri masa kejayaan para pejabat Eropa dan
pribumi yang memanfaatkan perbedaan bobot komoditi hasil bumi saat itu. Namun,
kenyataan di lapangan berbeda. Para pejabat yang tidak mungkin lagi
mempermainkan bobot timbangan, mencari peluang lain dengan mempermainkan
penyusutan bobot saat hasil bumi itu dibawa dari perkebunan ke gudang-gudang
pemerintah. Melihat penyelewengan tersebut, Daendels mengeluarkan peraturan
umum tentang penyusutan bobot dan tarif angkutan pada tanggal 19 Oktober 1808.
Peraturan ini mengatur tentang persentase bobot yang diizinkan bagi semua
produk komoditi hasil bumi.
d.
Peraturan tentang Penyusutan Komoditi Dagang
Berdasarkan
peraturan tentang tarif dan berat, Daendels menyatakan bahwa pemerintah akan
mengatur berat penyusutan komoditi dagang yang diserahkan oleh penduduk kepada
pemerintah. Peraturan ini dikeluarkan, karena Daendels menemukan berkurangnya/
penyusutan bobot lebih dari 30 jenis komoditi dagang yang diserahkan oleh
penduduk kepada pemerintah. Untuk beberapa jenis rempah seperti lada,
jahe, dan umbi-umbian, pemerintah hanya mengizinkan penyusutan berat tidak
lebih dari 2%. Untuk berbagai jenis padi, gula, garam, berat
penyusutan yang diizinkan tidak boleh melebihi dari 100 bahar setiap koyangnya.
Selama transportasi ke gudang pemerintah, kepada semua petugas diinstruksikan
untuk tidak menerima penyerahan komoditi dagang apabila terjadi kerusakan dalam
pengepakannya. Dengan demikian, siapapun yang terlibat dalam urusan ini
diminta untuk bekerja dengan sangat hati-hati agar packing produk komoditi
dagang tidak rusak ketika dibawa ke gudang negara.
Demikian pula, di gudang-gudang negara, para pekerja harus berhati-hati dalam
menjaga komoditi itu agar tidak timbul kerusakan yang disebabkan oleh iklim,
hujan, panas matahari ataupun banjir. Pengawasan dan penjagaan barang-marang
milik negara yang disimpan di gudang negara ini diserahkan kepada semua petugas
administratif di masing-masing gudang.
- d. Peraturan tentang Pembalakan Hutan
Dengan
alasan untuk memelihara hutan, Daendels mengeluarkan peraturan tentang
eksploitasi hutan, khususnya tentang perdagangan kayu jati. Kebijakannya
tentang kehutanan, tidak dapat dilepaskan dari upaya yang dilakukannya untuk
memberantas korupsi yang dilakukan oleh mantan pejabat VOC dari tingkat
tertinggi hingga terendah. Informasi tentang mental para pejabat ini telah ia
terima sebelum meninggalkan Eropa untuk menuju ke pulau Jawa. Daendels
sangat memahami bahwa di balik hutan terdapat kekayaan alam yang sangat besar.
Setelah ia melakukan perjalanan ke Semarang, pada bulan April 1808, ia melihat
bahwa pulau Jawa menyimpan kekayaan yang sangat besar yang memicu terjadinya
pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat-pejabat di Hindia Timur, yaitu kasus
pembalakan liar. Kekayaan hutan di sepanjang Pantai Utara Jawa, mendorong
dirinya untuk segera mengeluarkan peraturan yang mengatur tentang penebangan
hutan. Hutan adalah milik negara. Hutan dikelola oleh dinas yang mengelola
kehutanan. Oleh karena itu, sebelum menebang pohon jati, semua pejabat
kehutanan harus menelaah dan meneliti sisi negatifnya apabila pohon itu
ditebang. Selanjutnya izin untuk menebang hutan akan dikeluarkan oleh
pejabat yang berwenang apabila para pejabat itu telah siap dengan rencana
penggantiannya.
Untuk menghindari terjadinya pembalakan liar, pemerintah telah mengeluarkan
kode rahasia tentang asal muasal kayu jati tersebut. Contohnya kayu jati dari
Surabaya, diberikan kode S1; kayu jati dari Gresik diberikan kode G2; kayu dari
Rembang diberikan kode R3; J4 adalah kode kayu yang berasal dari Juwana; S5
adalah kode untuk kayu dari Semarang; P6 merupakan kode kayu yang berasal dari
Pekalongan; Sementara itu, T7 adalah kode kayu dari Tegal dan C8 berasal dari
Cirebon. Sementara itu kode I9 merupakan kode kayu yang berasal dari Indramayu.
Semua kayu sudah ditentukan ukurannya, yang harus disimpan di gudang-gudang
kayu pemerintah. Apabila diketahui ada orang yang membawa kayu tanpa adanya
kode tersebut, maka kayunya disita untuk negara, sementara orangnya ditangkap
kemudian dihadapkan kepada Inspektur Jenderal Kehutanan untuk dijatuhi hukuman.
- 5. Sangsi
Penyelewengan atas komoditi hasil bumi dan hutan dikenai sangsi yang berat.
Jika terbongkar, mereka akan dihukum dengan denda, kehilangan jabatan, atau
bahkan hukuman mati. Mereka yang kedapatan melakukan kecurangan senilai lebih
dari 3 ribu ringgit atau setara dengan 1 bulan gaji Ketua Dewan Hindia (Raad
van Indie) akan disidangkan dan dijatuhi hukuman mati dengan cara ditembak.
Sangsi yang berat benar-benar dijalankan oleh Daendels, sehingga membuat jera
para pejabat saat itu.
- 6. Kesimpulan
Selama
pemerintahannya Daendels berhasil untuk meminimalisir korupsi. Ia berhasil
menjalankan kebijakannya dengan baik, bukan karena pengalamannya sebagai
pegawai pemerintah kolonial, melainkan dari pengalaman militer dan
pengabdiannya di Legion Etrangère, pasukan asing bentukan Napoléon
Bonaparte selama perjuangan kaum Patriot melawan rezim Willem V. Sebagai
pengagum Revolusi Prancis dan Napoléon Bonaparte ia sanggup untuk menjadi “abdi
negara” di bawah Raja Louis dan di bawah perlindungan Kaisar Napoléon
Bonaparte. Daendels merupakan manusia pada zamannya, yang harus mengemban
tugas dari orang yang sangat dikaguminya, yaitu Kaisar Napoléon
Bonaparte. Maka dari itu, ia melakukan pengontrolan terhadap para
pejabat dengan sangat ketat. Pemberantasan korupsi dilakukannya karena dianggap
tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Revolusi, karena hanya menguntungkan diri
sendiri dan mengorbankan kepentingan rakyat dan negara. Semuanya ini
dilakukannya demi melaksanakan apa yang diperintahkan baik oleh Raja Belanda
Louis maupun Kaisar Napoléon, yaitu menjalankan sistem pemerintahan yang bersih
agar membawa manfaat bagi negara induknya.
Sosok Daendels merupakan sosok yang ditakuti oleh semua pegawai pemerintah. Ia
secara konsisten menjalankan apa yang sudah diaturnya. Ia benar-benar
melaksanakan hukuman mati bagi para koruptor sesuai dengan aturan yang
dibuatnya. Hal ini dilakukan karena bantuan keuangan dari negara induk tidak
pernah datang sebagai akibat dari blokade Inggris atas pulau Jawa. Kondisi
inilah yang membuat Daendels harus mencari uang sendiri guna membayar semua
pegawai pemerintah. Oleh karena itu, tindakan membrantas korupsi menjadi
prioritasnya untuk menghemat keuangan negara.
Langkah yang dilakukannya dengan menaikkan gaji semua pegawai pemerintah
merupakan tindakan yang paling awal dilakukan oleh Gubernur Jenderal Daendels.
Hal ini dilakukannya agar pegawai pemerintah tidak lagi melakukan hal-hal yang
dinilainya sebagai memperkaya diri sendiri dengan mengorbankan semua
kepentingan pemerintah. Melarang pegawai pemerintah menerima uang bekti, upeti
atau pun lainnya tiada lain untuk menghindarkan diri dari korupsi pasif, yang
akan menganggu pegawai pemerintah dalam menjalan tugas yang diembannya.
Sebagai orang yang mengagumi Revolusi Prancis dan Napoléon Bonaparte, Daendels
merupakan sosok yang berhasil menjalankan salah satu instruksi utama Napoléon
Bonaparte kepadanya, yakni menciptakan pemerintahan yang bersi yang mengangkat
martabat dan kemuliaan bangsa Prancis di wilayah koloni Hindia Timur.
Rujukan
Arsip
Daendels,
Herman Willem. 1814. Staats der Nederlandsche Oostindische Bezittingen Onder
hat Bestuur van den Gouverneur General Herman Willem Daendels in de jaren
1808—1811. Bijlagen eerste en tweede stukken.
-
Publicatie, den 14 Maart 1808
-
Publicatie, den 6 April 1808
-
Instructie voor den Inspecteur Generaal der koffij-culture den 9 junij 1808
-
Instructie voor de Inspecteur Generaal over alle Houtboschen op het eiland
Java den 21 Augustus 1808
-
Instructie voor den President en Leden van de administratie des Houtboschen
den 21 Augustus 1808
-
Instructie voor den Secretaris van den Asministratie der Houtboschen den 21
Augustus 1808
-
Instructie voor den Boschganger den 21 Augustus 1808
-
Provisioneel Instructie voor de Europeesche Opzichter der Stapelplaatsen van
Houtwerken den 5 Maart 1809
-
Instructie den 29 Augustus 1809
-
Generaal Reglement en Tarief, rakende de afschrijvengen van
oderwigten en minderheden of spillagie voor de Administrateurs,
Pakhuismeesters, als scheps overheden, zoo ter dezer Hoofplaatse, als op alle
Kantoren of Hollandsche Bezittingen in Indien den 19 October 1809
-
Reglement, waarnaar de koelies, die in de respective administratien dienst
doen, voortaan zullen worden betaald, item welk getal dat voor ieder
administratie op zijn hoogst zal worden te goed gedaan den 9 Maart 1809
-
Tarief van vracht-gelden en bepaling der koijangs bij den tegenwoordigen tijd
van oorlog.
-
Ordonnantie voor het Praauw of Tjuinia veer te Batavia den 17 van
Wijnmaand 1810.
Roo, LWG de.
1909. Documenten omtrent Herman Willem Daendels: Gouverneur Generaal
van Nederlandsch Oost-Indie. Eerste en Tweede Deel. ‘S Gravenhage:
Martinus Nijhoff.
II. Buku
Acuan
Akihary. H.
Et all. 1991. Herman Willem Daendels 1762—1818. Utrecht: Matrijs.
Al-Misri,
Abdullah Bin Muhammad.1987. Naskah Dokumen Nisantara VI: Hikayat
Mareskalk I, Hikayat Mareskalek II, Cerita Siam, Hikayat Tanah bali. Disunting
oleh Monique Zaini Lajoubert. Bandung: Penerbit Angkasa dan EFEO.
Breman, Jan.
1986. Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja di Jawa di Masa Kolonial. Jakarta:
LP3ES.
Burgst,
Nahuys van. 1835. Verzameling van Officielle Rapporten Bettreffende den
Oorlog op Java 1825—1830.Deventer, M. Balot.
Chis, JA van
der. 1895. Plakaatboek 1602-1811. Volume 14.Batavia: Laandsdrukkerij.
Colenbrander,
HT. 1925. Koloniale Geschiedenis, jilid II. ‘S Gravenhage: Martinus
Nijhoff.
Day, Clive.
1904. The Dutch in Java. Kuala Lumpur:OxfordUniversity
Press.
Deventer,
JSZ. 1865. Bijdragen tot de Kennis van het Landelijk Stelsel op Jawa.
Jilid I. S’Gravenhage: John Noman en Zoon.
Eymeret,
Joël. t.t. Herman Willem Daendels Général Napoléonien Gouverneur à Java.Phd
dissertation, EHESS, Paris.
————–, 1973.
“L’Administration napoléonienne en Indonésie.” In Revue Française
d’histoire d’Outre Mer. No. 218, ler Semestre 1973.
Haak, A.
1938. Daendels.Rijswijk.
Heuken,
Adolf, Sj. 2000. Galangan Kapal Batavia Selama Tiga Ratus Tahun. Jakarta:
Cipta Loka Caraka.
Kleintjes,
PH. 1927. Staatsinstellingen van Nederlandsch-Indie. Amsterdam: JH de
Bussy.
Mendel, Dr.
I. 1800. Herman Willem Daendels voor zijne Benoeming tot Gouverneur Generaal
van Oost-Indie 1762—1807. S’Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Pereboom, F
dan H.A. Stalknecht. 1989. Herman Willem Daendels (1762—1818).
Kampen.
Wessem,
Constant Van. 1932. De Ijzeren Maarschalk. Amsterdam: De Spegel.
[1]Makalah ini disajikan pada
diskusi tentang VOC: Pedagang atau Penjajah, yang diselenggarakan pada tanggal
25 Mei 2011 di Fadli Zon Librairy, Jakarta.
[2]Penulis adalah pengajar di
Departemen Sejarah, Program Studi Prancis, Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia. Bidang yang menjadi perhatiannya adalah hubungan
antara Eropa dan wilayah koloninya di Hindia Timur pada akhir abad XVIII dan
awal abad XIX. Penulis dapat dihubungi di djoko_marihandono@yahoo.com.
[3]Lihat laporan yang ditulis
sendiri oleh H.W Daendels dalam Staat der Nederlandsch Oostindische
Bezittingen, onder het Bestuur van den Gouverneur-Generaal Herman Willem
Daendels.’ ‘s Gravenhage.1814
[4]Wilayah Gubernur Pantai Timur
Laut Jawa meliputi Semarang, Tegal, Pekalongan, Jepara, Juwana, Rembang,
Gresik. Gubernur Pantai Timur Laut Jawa berkedudukan di Semarang;
[5]Gezaghebber Pantai Timur Laut
Jawa berkedudukan di Surabaya. Wilayahnya meliputi Keresidenan Gresik, Tuban,
Pasuruan. Para residen ini membawahi beberapa kabupaten, yang dipimpin oleh
bupati.
[6]Menurur Deventer, pada tahun
1803, dari 16.083 desa yang berada di bawah pemerintah kolonial Belanda, 1.466
desa yang disewakan kepada orang Cina. Di Keresidenan Pekalongan, 37 desa
disewakan kepada orang Cina, di kabupaten Ulujami sebanyak 2.023 disewakan
kepada orang Cina, di keresidenan Tegal hanya 9 dari 1.645 desa yang
masih bebas tidak disewakan kepada orang Cina.
[7]Joel Eymeret, 1973.
“L’Administration napoléonienne en Indonésie.” In Revue Française
d’histoire d’Outre Mer. No. 218, ler Semestre 1973.
[8]Lihat HW Daendels, Op.Cit.
1814: Eerste Deel, nomor 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar