Airlangga adalah pendiri Kerajaan Kahuripan, yang memerintah 1009-1042 dengan gelar Abhiseka Sri
Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Sebagai
seorang raja, ia memerintahkan Mpu Kanwa untuk mengubah Kakawin Arjunawiwaha yang menggambarkan keberhasilannya
dalam peperangan. Di akhir masa pemerintahannya, kerajaannya dibelah dua menjadi Kerajaan Kadiri dan Kerajaan
Jenggala, bagi kedua putranya.
Airlangga lahir tahun 990, Ayahnya bernama Udayana,
raja Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa, Ibunya bernama Mahendradatta dari
Wangsa Isyana dari kerajaan Medang.
Airlangga menikah dengan putri pamannya, yaitu
Dharmawangsa Teguh di Watan, ibu kota Kerajaan Medang (Maospati,Magetan Jatim).
Ketika pesta berlangsung, kota Watan diserbu Raja Wurawari yang menjadi sekutu
Kerajaan Sriwijaya. Kejadian ini tercatat dalam prasasti Pucangan, penyerangan
ini terjadi sekitar tahun 928 saka.
Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas,
sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan Wanagiri ditemani pembantunya Mpu
Narotama. Saat itu ia berumur 16 tahun, sejak kejadian itu ia mulai menjalani
hidup sebagai seorang pertapa. Bukti peninggalannya dapat dijumpai di Sendang
Made, Kudu, Jombang, Jatim. Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga
didatangi oleh utusan rakyat yang memintanya membangun kembali kerajaan Medang,
karene kota Watan sudah hancur, ia membangun kota Watan Mas di dekat Gunung
Penanggungan.
Saat pertamakali ia naik tahta wilayah kerajaannya
hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal
Dharmawangsa Teguh banyak daerah bawahan yang melepaskan diri. Pada tahun 1023
Kerajaan Sriwijaya yang menjadi musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra
Coladewa raja Colamandala dari India. Ini membuat Airlangga leluasa menyiapkan
diri untuk menakhlukkan pulau Jawa
Sejak tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring dengan melemahnya
Sriwijaya. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk
menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isnaya atas pulau Jawa. Namun awalnya tidak berjalan dengan baik, karena
menurut prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga
Airlangga melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan
(1037), ibu kota kerajaan sudah pindah di
Kahuripan (Sidoarjo).
Airlangga pertama-tama mengalahkan Raja Hasin, 1030 menakhlukkan Wisnuprbhawa raja Wuratan,
Wijayawarma raja Wengker, kemudian Panuda raja Lewa. Pada tahun 1032, Airlangga
dikalahkan oleh seorang raja wanita dari Tulungagung, istana Watan Mas dihancurkan.
Airlangga terpaksa melarikan diri ke desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala,
dan membangun kota baru di Kahuripan, dalam tahun itu juga Raja Wurawari dapat
dikalahkan bersama Mpu Narotama. Terakhir tahun 1035, Airlangga
menumpas pemberontakan Wijayawarma raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu.
Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya
sendiri.
Pembangunan Kerajaan
Kerajaan yang baru dengan
pusatnya di Kahuripan, Sidoarjo ini, wilayahnya membentang dari Pasuruan di
timur hingga Madiun di barat.
Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang
penting untuk pertama kalinya. Airlangga naik tahta dengan gelar abhiseka Sri
Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa.
Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah, bahkan
pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali. Menurut prasasti Pamwatan (1042),
pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (Kediri).
Setelah keadaan aman,
Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan
rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya
antara lain.
- Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
- Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
- Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.
- Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
- Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
- Memindahkan ibu kota dari Kahuripan ke Daha
Ketika itu, Airlangga dikenal
atas toleransi beragamanya, yaitu sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan
Buddha.
Airlangga juga menaruh
perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha, yang diadaptasi dari epic Mahabharata.
Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawancaka, sebagai kiasan Airlangga
mengalahkan Wurawari.
Pembelahan
kerajaan
Pada tahun 1042 Airlangga
turun takhta menjadi pendeta, ia bergelar
Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana. Berdasarkan
cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup
sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli
putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai prasasti Turun Hyang (1035)
adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Menurut Serat Calon Arang, Airlangga
kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan
takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan
salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke
Bali mengajukan
niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.
Airlangga lalu membagi dua
wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi
menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini
tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan
prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat
disebut Kadiri berpusat di
kota baru, yaitu Daha, diperintah
oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur disebut Janggala berpusat di
kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah
oleh Mapanji Garasakan.
Dalam prasasti Pamwatan, 20
November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam prasasti
Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku.
Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara
kedua tanggal tersebut.
Tidak diketahui dengan pasti
kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya
menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan
berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan
prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat.
Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga
dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.
Tokoh-tokoh
Penting masa Airlangga
Mahendradatta, juga
dikenal di Bali dengan sebutan Gunapriya
Dharmapatni, adalah puteri raja Sri Makutawangsawardhana dari Wangsa Isyana (Kerajaan Medang). Ia menikah
dengan Udayana, raja Bali dari Wangsa Warmadewa, yang kemudian memiliki beberapa
orang putra, yaitu Airlangga yang
kemudian menjadi raja di Jawa, dan Anak Wungsu yang kemudian menjadi raja di Bali
Mpu Narotama adalah
pembantu Airlangga yang setia menemani sejak masa pelarian sampai masa
pemerintahan majikannya itu. Menurut
prasasti Pucangan, Airlangga dan Narotama
berasal dari Bali. Keduanya
datang ke Jawa tahun 1006.
Sanggramawijaya
Tunggadewi adalah putri Airlangga yang menjadi
pewaris takhta Kahuripan, namun
memilih mengundurkan diri sebagai pertapa bergelar Dewi Kili Suci. Pada masa
pemerintahan Airlangga, sejak
kerajaan masih berpusat di Watan Mas sampai pindah ke Kahuripan, tokoh
Sanggramawijaya menjabat sebagai rakryan mahamantri alias putri mahkota. Gelar lengkapnya ialah Rakryan Mahamantri i Hino Sanggramawijaya Dharmaprasada
Tunggadewi. Nama ini terdapat dalam prasasti Cane (1021) sampai
prasasti Turun Hyang I (1035). Tokoh Dewi
Kili Suci dalam Cerita Panji dikisahkan sebagai sosok agung yang sangat
dihormati. Ia sering membantu kesulitan pasangan Panji Inu Kertapati dan Galuh Candrakirana,
keponakannya.
Dewi Kili Suci juga dihubungkan
dengan dongeng terciptanya Gunung Kelud. Dikisahkan
semasa muda ia dilamar oleh seorang manusia berkepala kerbau bernama
Mahesasura. Kili Suci bersedia menerima lamaran itu asalkan Mahesasura mampu
membuatkannya sebuah sumur raksasa.
Sumur raksasa pun tercipta
berkat kesaktian Mahesasura. Namun sayang, Mahesasura jatuh ke dalam sumur itu
karena dijebak Kili Suci. Para prajurit Kadiri atas perintah Kili Suci menimbun
sumur itu dengan batu-batuan, Timbunan batu begitu banyak sampai menggunung,
dan terciptalah Gunung Kelud. Oleh sebab
itu, apabila Gunung Kelud meletus,
daerah Kediri selalu
menjadi korban, sebagai wujud kemarahan arwah Mahesasura.
Dewi Kili Suci juga terdapat
dalam Babad Tanah Jawi sebagai putri sulung Resi Gentayu raja Koripan.
Kerajaan Koripan kemudian dibelah dua, menjadi Janggala dan Kadiri, yang masing-masing dipimpin oleh
adik Kili Suci, yaitu Lembu Amiluhur dan Lembu Peteng.
Kisah ini mirip dengan fakta
sejarah, yaitu setelah Airlangga turun takhta
tahun 1042, wilayah kerajaan dibagi dua, menjadi Kadiri yang dipimpin Sri Samarawijaya, serta Janggala yang
dipimpin Mapanji Garasakan.
Pada masa pemerintahan Airlangga dan
raja-raja sebelumnya, jabatan tertinggi sesudah raja adalah rakryan mahamantri. Jabatan ini identik dengan putra mahkota, sehingga
pada umumnya dijabat oleh putra atau menantu raja.
Dari prasasti-prasasti yang
dikeluarkan Airlangga sejak 1021
sampai 1035, yang menjabat sebagai rakryan mahamantri adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Sedangkan, pada prasasti Pucangan
(1041) muncul nama baru, yaitu Samarawijaya sebagai rakryan mahamantri.
Sanggramawijaya Tunggadewi identik dengan putri sulung Airlangga dalam Serat Calon Arang yang
mengundurkan diri menjadi pertapa bernama Dewi Kili Suci. Dalam kisah
tersebut, Dewi Kili Suci diberitakan memiliki dua orang adik laki-laki. Dengan demikian, Samarawijaya dipastikan adalah adik Sanggramawijaya Tunggadewi.
Perang
Saudara
Sebelum turun takhta tahun
1042, Airlangga dihadapkan
pada masalah persaingan antara kedua putranya. Maka, ia pun membelah wilayah
kerajaannya menjadi dua, yaitu Kadiri dan Janggala. Peristiwa
ini diberitakan dalam Nagarakretagama dan Serat Calon Arang, serta
diperkuat oleh prasasti Turun Hyang
(1044).
Dalam prasasti Turun Hyang,
diketahui nama raja Janggala setelah
pembelahan ialah Mapanji Garasakan. Nama raja Kadiri tidak disebutkan dengan jelas, namun
dapat diperkirakan dijabat oleh Samarawijaya, karena sebelumnya ia sudah
menjabat sebagai putra mahkota.
Prasasti Turun Hyang tersebut
merupakan piagam pengesahan anugerah Mapanji Garasakan tahun 1044
terhadap penduduk desa Turun Hyang yang setia membantu Janggala melawan Kadiri. Jadi, pembelahan kerajaan yang
dilakukan oleh Airlangga terkesan
sia-sia belaka, karena kedua putranya, yaitu Samarawijaya dan Mapanji Garasakan tetap saja
berebut kekuasaan.
Adanya unsur Teguh
dalam gelar Samarawijaya, menunjukkan kalau ia adalah putra Airlangga yang
dilahirkan dari putri Dharmawangsa Teguh. Sedangkan Mapanji Garasakan adalah putra
dari istri kedua. Dugaan bahwa Airlangga memiliki dua
orang istri didasarkan pada penemuan dua patung wanita pada Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan, yang diyakini sebagai situs pemakaman Airlangga.
Pembelahan kerajaan
sepeninggal Airlangga tidak membuahkan
hasil. Perang saudara tetap terjadi antara Garasakan raja Janggala melawan Sri Samarawijaya raja Kadiri. Mula-mula kemenangan berada di
pihak Janggala. Pada tahun
1044 Garasakan menetapkan desa Turun Hyang sebagai sima swatantra atau
perdikan, karena para pemuka desa tersebut setia membantu Janggala melawan Kadiri.
Pada tahun 1052 Garasakan
memberi anugerah untuk desa Malenga karena membantu Janggala mengalahkan Aji Linggajaya raja Tanjung.
Linggajaya ini merupakan raja bawahan Kadiri. Piagam yang berkenaan dengan
peristiwa tersebut terkenal dengan nama prasasti Malenga.
Mpu Bharada muncul dalam Serat Calon Arang sebagai
tokoh yang berhasil mengalahkan musuh Airlangga, yaitu Calon Arang, seorang
janda sakti dari desa Girah.
Dikisahkan pula, Airlangga berniat
turun takhta menjadi pendeta. Ia kemudian berguru pada Mpu Bharada. Kedua
putranya bersaing memperebutkan takhta. Berhubung Airlangga juga putra
sulung raja Bali, maka ia pun
berniat menempatkan salah satu putrnya di pulau itu.
Mpu Bharada dikirim ke Bali menyampaikan maksud tersebut. Dalam
perjalanan menyeberang laut, Mpu Bharada cukup dengan menumpang sehelai daun.
Sesampainya di Bali permintaan Airlangga yang
disampaikan Mpu Bharada ditolak oleh Mpu Kuturan, yang berniat mengangkat
cucunya sebagai raja Bali.
Airlangga terpaksa
membelah wilayah kerajaannya demi perdamaian kedua putranya. Menurut Nagarakretagama, Mpu Bharada
bertugas menetapkan batas antara kedua belahan negara.
Dikisahkan, Mpu Bharada
terbang sambil mengucurkan air kendi. Ketika sampai dekat desa Palungan, jubah
Mpu Bharada tersangkut ranting pohon asam. Ia marah dan mengutuk pohon asam itu
menjadi kerdil. Oleh sebab itu, penduduk sekitar menamakan daerah itu Kamal
Pandak, yang artinya “asem pendek”.
Desa Kamal Pandak pada zaman Majapahit menjadi
lokasi pendirian Prajnaparamitapuri, yaitu candi pendharmaan arwah Gayatri, istri Raden Wijaya.
Selesai menetapkan batas Kerajaan Kadiri dan Janggala berdasarkan
cucuran air kendi, Mpu Bharada mengucapkan kutukan, barang siapa berani
melanggar batas tersebut hidupnya akan mengalami kesialan. Menurut prasasti
Mahaksobhya yang diterbitkan Kertanagara raja Singhasari tahun 1289,
kutukan Mpu Bharada sudah tawar berkat usaha Wisnuwardhana menyatukan
kedua wilayah tersebut.
Nagarakretagama juga
menyebutkan, Mpu Bharada adalah pendeta Buddha yang mendapat anugerah tanah desa
Lemah Citra atau Lemah Tulis. Berita ini cukup unik karena ia bisa menjadi guru
spiritual Airlangga yang
menganut agama Hindu Wisnu.
Calon Arang adalah
seorang tokoh dalam cerita rakyat Jawa dan Bali dari abad ke-12. Tidak
diketahui lagi siapa yang mengarang cerita ini. Salinan teks Latin yang sangat
penting berada di Belanda, yaitu di Bijdragen Koninklijke Instituut. ia adalah seorang janda pengguna ilmu hitam yang sering merusak hasil panen para petani dan menyebabkan datangnya penyakit. Calon Arang
mempunyai seorang puteri bernama Ratna Manggali, yang meskipun cantik, tidak dapat mendapatkan
seorang suami karena orang-orang takut pada ibunya. Karena kesulitan yang
dihadapi puterinya, Calon Arang marah dan ia pun berniat membalas dendam dengan
menculik seorang gadis muda. Gadis tersebut ia bawa ke sebuah kuil untuk
dikorbankan kepada Dewi Durga. Hari berikutnya, banjir besar melanda desa tersebut dan
banyak orang meninggal dunia. Penyakit pun muncul.
Raja Airlangga yang
mengetahui hal tersebut kemudian meminta bantuan penasehatnya, Empu Baradah untuk mengatasi masalah ini. Empu Baradah lalu
mengirimkan seorang prajurit bernama Empu Bahula untuk dinikahkan kepada Ratna.
Keduanya menikah besar-besaran dengan pesta yang berlangsung tujuh hari tujuh
malam, dan keadaan pun kembali normal.
Calon Arang mempunyai sebuah
buku yang berisi ilmu-ilmu sihir. Pada suatu hari, buku ini berhasil ditemukan
oleh Bahula yang menyerahkannya kepada Empu Baradah. Saat Calon Arang
mengetahui bahwa bukunya telah dicuri, ia menjadi marah dan memutuskan untuk
melawan Empu Baradah. Tanpa bantuan Dewi Durga, Calon Arang pun kalah. Sejak ia
dikalahkan, desa tersebut pun aman dari ancaman ilmu hitam Calon Arang.
Kesimpulan
Airlangga adalah anak dari Udayana dari Wangsa
Warmadewa, Ibunya bernama Mahendradatta dari Wangsa Isyana dari kerajaan Medang.
Airlangga meempunya dua orang adik, yaitu Marakata yang kemudian menjadi raja
Bali, dan Anak Wungsu yang menggantikan Marakata, Airlangga menikah dengan
putri pamannya, yaitu Dharmawangsa Teguh di Watan, ibu kota Kerajaan Medang.
Tetapi saat pernikahan berlangsung terjadi penyerangan besar dari raja
Wurawari.
Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas,
sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan Wanagiri ditemani pembantunya Mpu
Narotama. Saat itu ia berumur 16 tahun, sejak kejadian itu ia mulai menjalani
hidup sebagai seorang pertapa.
Diakhir masa pemerintahannya ia membagi kerajaanya
menjadi dua yaitu Kadiri yang berpusat di Daha, dan Jenggala yang berpusat di
Kahuripan. Dalam hal pemerintahan ia di bantu oleh Mpu Bharada yang juga
sebagai gurunya, Mpu Bharada juga yang menjadi panutan ketika Airlangga
membelah kerajaannya menjadi dua.
Daftar Pustaka
- Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
- Slamet Muljana. 1979. Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bharata
- http://id.shvoong.com/humanities/history/2076543-sejarah-kerajaan-bali/#ixzz1M1htVKRe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar